Wednesday 8 July 2015

On 22:01 by Dr. SUKRIS SUTIYATNO, MM., M.Hum   No comments

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL


Sukris Sutiyatno
Di sampaikan dalam Kegiatan: Pengabdian pada Masyarakat

CONTEXTUAL TEACHING LEARNING : KONSEP BELAJAR YANG MENGKAITKAN ANTARA MATERI YANG DIAJARKANNYA DENGAN SITUASI DUNIA NYATA SISWA DAN MENDORONG SISWA MEMBUAT HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUANYANG DIMILIKINYA DENGAN PENERAPANNYA DALAM KEHIDUPAN MEREKA SEBAGAI ANGGOTA KELUARGA DAN MASYARAKAT.


DALAM KELAS KONTEKSTUAL TUGAS GURU ADALAH MEMBANTU SISWA MENCAPAI TUJUANNYA. MAKSUDNYA GURU LEBIH BANYAK BERURUSAN DENGAN STRATEGI DARIPADA MEMBERI INFORMASI.

PENERAPAN CTL DALAM KELAS :
1.     KEMBANGKAN PEMIKIRAN BAHWA ANAK AKAN BELAJAR LEBIH BERMAKNA DENGAN CARA BEKERJA SENDIRI, MENEMUKAN SENDIRI, DAN MENGKONSTRUKSI SENDIRI PENGETAHUAN DAN KETRAMPILAN BARUNYA.
2.     LAKSANAKAN SEJAUH MUNGKIN KEGIATAN INKUIRI UNTUK SEMUA TOPIK
3.     KEMBANGKAN SIFAT INGIN TAHU SISWA DENGAN BERTANYA
4.     CIPTAKAN MASYARAKAT BELAJAR (BELAJAR DALAM KELOMPOK-KELOMPOK)
5.     HADIRKAN MODEL SEBAGAI CONTOH PEMBELAJARAN
6.     LAKUKAN REFLEKSI DIAKHIR PERTEMUAN
7.     LAKUKAN PENILAIAN YANG SEBENARNYA DENGAN BERBAGAI CARA

TUJUH KOMPONEN CTL :

1.     KONSTRUKTIVISME :
LANDASAN BERPIKIR KONSTRUKTIVISME AGAK BERBEDA DENGAN PANDANGAN KAUM OBJEKTIVIS, YANG LEBIH MENEKANKAN PADA HASIL PEMBELAJARAN. DALAM PANDANGAN KONSTRUKTIVIS, ‘STRTAEGI MEMPEROLEH’ LEBIH DIUTAMAKAN DIBANDINGKAN SEBERAPA BANYAK SISWA MEMPEROLEH DAN MENGINGAT PENGETAHUAN. UNTUK ITU, TUGAS GURU ADALAH MEMFASILITASI PROSES TERSEBUT DENGAN :
1)    MENJADIKAN PENGETAHUAN BERMAKNA DAN RELEVAN BAGI SISWA,
2)    MEMBERI KESEMPATAN SISWA MENEMUKAN DAN MENERAPKAN IDENYA SENDIRI, DAN
3)    MENYADARKAN SISWA AGAR MENERAPKAN STRATEGI MEREKA SENDIRI DALAM BELAJAR

2.     MENEMUKAN
MENEMUKAN MERUPAKAN BAGIAN INTI DARI KEGIATAN PEMBELAJARAN BERBASIS CTL. PENGETAHUAN DAN KETRAMPILAN YANG DIPEROLEH SISWA DIHARAPKAN BUKAN HASIL MENGINGAT SEPERANGKAT FAKTA-FAKTA, TETAPI HASIL DARI MENEMUKAN SENDIRI.
INQUIRI TIDAK HANYA DITERAPKAN PADA PELAJARAN IPA, TETAPI DAPAT DITERAPKAN PADA SEMUA BIDANG STUDI : MISALNYA BAHASA INDONESIA (MENEMUKAN CARA MENULIS PARAGRAPH DESKRIPSI); IPS (MEMBUAT SENDIRI BAGAN SILSILAH RAJA-RAJA MAJAPAHIT); PPKN (MENEMUKAN PERILAKU BAIK DAN PERILAKU BURUK ). KATA KUNCI DARI INQUIRI ADALAH SISWA MENEMUKAN SENDIRI.

LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN MENEMUKAN ADALAH :
(1)  MENEMUKAN MASALAH
(2)  MENGAMATI ATAU MELAKUKAN OBSERVASI
(3)  MENGANALISIS DAN MENYAJIKAN HASIL DALAM TULISAN, GAMBAR, LAPORAN, BAGAN, TABEL, DAN KARYA LAIN
(4)  MENGKOMUNIKASIKAN ATAU MENYAJIKAN HASIL KARYA PADA PEMBACA, TEMAN SEKELAS, GURU, ATAU AUDIEN YANG LAIN

3.     BERTANYA
BERTANYA MERUPAKAN STRATEGI UTAMA PEMBELAJARAN BERBASIS CTL.

KEGIATAN BERTANYA BERGUNA UNTUK :
(1)      MENGGALI INFORMASI, BAIK ADMINISTRASI MAUPUN AKADEMIS
(2)      MENGECEK PEMAHAMAN SISWA
(3)      MEMBANGKITKAN RESPON KEPADA SISWA
(4)      MENGETAHUI SEJAUHMANA KEINGINAN SISWA
(5)      MENGETAHUI HAL YANG SUDAH DIKETAHUI SISWA
(6)      MEMFOKUSKAN PERHATIAN SISWA PADA SESUATU YANG DIKEHENDAKI SISWA
(7)      UNTUK MEMBANGKITKAN LEBIH BANYAK LAGI PERTANYAAN DARI SISWA
(8)      UNTUK MENYEGARKAN LAGI KEMBALI PENGETAHUAN SISWA

PENERAPANNYA : ANTARA SISWA DENGAN SISWA, ANTARA GURU DENGAN SISWA, ANTARA SISWA DENGAN GURU, ANTARA SISWA DENGAN ORANG LAIN YANG DIDATANGKAN.

4.     MASYARAKAT BELAJAR

KONSEP LEARNING COMMUNITY MENYARANKAN AGAR HASIL PEMBELAJARAN DIPEROLEH DARI KERJASAMA DENGAN ORANG LAIN.

DLM KELAS CTL GURU DISARANKAN SELALU MELAKSANAKAN PEMBELAJARAN DLM KELOMPOK-KELOMPOK BELAJAR.

GURU MEELAKUKAN KOLABORASI DENGAN MENDATANGKAN SEORANG AHLI KE KELAS. MISALNYA TUKANG SABLON, PETANI JAGUNG, TEKNISI KOMPUTER, DOKTER DSB.

5.     PEMODELAN

MAKSUDNYA ADALAH SEBUAH PEMBELAJARAN KETRAMPILAN ATAU PENGETAHUAN TERTENTU, ADA MODEL YANG DITIRU. MODEL ITU BISA BERUPA CARA MENGOPERASIKAN SESUATU, CARA MELEMPAR BOLA DALAM OR, CONTOH KARYA TULIS, CARA MELAFALKAN BAHASA INGGRIS DSB. ATAU GURU MEMBERI CONTOH CARA MENGERJAKAN SESUATU. DENGAN BEGITU, GURU MEMBERI MODEL TENTANG ‘BAGAIMANA CARA BELAJAR’.
         

6.     REFLEKSI
REFLEKSI ADALAH CARA BERPIKIR TENTANG APA YANG BARU DIPELAJARI ATAU BERPIKIR KE BELAKANG TENTANG APA-APA YANG SUDAH KITA LAKUKAN DI MASA YANG LALU.

REFLEKSI MERUPAKAN RESPON TERHADAP KEJADIAN, AKTIVITAS, ATAU PENGETAHUAN YANG BARU DITERIMA. MISALNYA, KETIKA PELAJARAN BERAKHIR, SISWA MERENUNG ‘KALAU BEGITU, CARA SAYA MENYIMPAN DI FILE ITU SALAH, YA! MESTINYA, DENGAN CARA YANG BARU SAYA PELAJARI INI, FILE KOMPUTER SAYA LEBIH TERTATA.

PADA AKHIR PEMBELAJARAN, GURU MENYISAKAN WAKTU SEJENAK AGAR SISWA MELAKUKAN REFLEKSI. REALISASINYA BERUPA :
·         PERNYATAAN LANGSUNG TENTANG APA-APA YANG DIPEROLEHNYA HARI ITU
·         CATATAN ATAU JURNAL DI BUKU SISWA
·         KESAN DAN SARAN SISWA MENGENAI PEMBELAJARAN HARI ITU
·         DISKUSI
·         HASIL KARYA

7.     PENILAIAN YANG SEBENARNYA

ADALAH PROSES PENGUMPULAN BERBAGAI DATA YANG BISA MEMBERIKAN GAMBARAN PERKEMBANGAN BELAJAR SISWA.

PENILAIAN TIDAK HANYA DILAKUKAN DI AKHIR PERIODE (CAWU/SEMESTER) PEMBELAJARAN SEPERTI PADA KEGIATAN EVALUASI HASIL BELAJAR (EBTANAS) TETAPI DILAKUKAN BERSAMA DENGAN SECARA TERINTEGRASI (TIDAK TERPISAHKAN) DARI KEGIATAN PEMBELAJARAN.

KEMAJUAN BELAJAR DINILAI DARI PROSES BUKAN MELULU HASIL.


KARAKTERISTIK  PENILAIAN SEBENARNYA :

·         DILAKSANAKAN SELAMA DAN SESUDAH PROSES PEMBELAJARAN
·         BISA DIGUNAKAN FORMATIF ATAU SUMATIF
·         YANG DIUKUR PERFORMANSI, BUKAN MENGINGAT FAKTA
·         BERKESINAMBUNGAN
·         TERINTEGRASI
·         DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI FEEDBACK

KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN BERBASIS CTL :

·         KERJA SAMA
·         SALING MENUNJANG
·         MENYENANGKAN, TIDAK MEMBOSANKAN
·         BELAJAR DENGAN BERGAIRAH
·         PEMBELAJARAN TERINTEGRASI
·         MENGGUNAKAN BERBAGAI SUMBER
·         SISWA AKTIF
·         SHARING DENGAN TEMAN
·         SISWA KRITIS GURU KREATIF
·         DINDING KELAS & LORONG-LORONG PENUH DENGAN HASIL KARYA SISWA, PETA-PETA, GAMBAR, ARTIKEL, HUMOR DLL
·         LAPORAN KEPADA ORANG TUA BUKAN HANYA RAPOR, TETAPI HASIL KARYA SISWA, LAPORAN HASIL PRAKTIKUM, KARANGAN SISWA DLL.






Sunday 5 July 2015

On 21:11 by Dr. SUKRIS SUTIYATNO, MM., M.Hum   No comments

Manajemen Kepuasan Siswa
STMIK Bina Patria Magelang

A.    Kualitas sebagai Ujung Tombak Kepuasan Siswa
Bagi setiap institusi mutu adalah agenda utama dan meningkatkan mutu merupakan tugas yang paling penting. Mutu merupakan suatu hal yang membedakan antara yang baik dan yang sebaliknya. Bertolak dari kenyataan tersebut, mutu dalam pendidikan akhirnya merupakan hal yang membedakan antara kesuksesan dan kegagalan. Sehingga, mutu jelas sekali merupakan masalah pokok yang akan menjamin perkembangan sekolah dan meningkatkan kepercayaan sekolah di mata masyarakat dan menjadi  ujung tombak untuk memenuhi kepuasan siswa. Oleh karena itu, sekolah harus mampu menciptakan kultur mutu, yang mendorong semua warga sekolahnya untuk berkontribusi terhadap kepuasan siswa. Karena kepuasan siswa tidak terlepas dari mutu yang dimiliki oleh sekolahnya yang mencakup kualitas gurunya, nyaman dan megah gedungnya, sarana dan prasarana yang memadai, perpustakaan yang nyaman dengan koleksi buku yang terbaru, lingkungan yang aman, nyaman dan tenang dan pelayanan yang responsif terhadap siswanya sehingga membuat para siswa merasa nyaman dalam belajar.
Masalah mutu produk, baik berupa barang dan jasa bagi perusahaan atau industri dan mutu lulusan bagi lembaga pendidikan menjadi satu hal yang penting. Suatu produk dan lulusan yang bermutu, memungkinkan para pengguna produk dan lulusan dari lembaga pendidikan dapat memperoleh kepuasan. Jika pengguna puas, mereka akan setia menggunakan produk dan lulusan lembaga pendidikan tersebut. Jika para konsumen dari produk dan lulusan lembaga pendidikan semakin setia, suatu perusahaan dan lembaga pendidikan akan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif untuk eksis dan solid dalam berproduksi bagi perusahaan dan dalam menyelenggarakan proses pendidikan bagi institus pendidikan (Abdul Hadis & Nurhayati, 2010:86-87).
Menurut Deming (1982:176) mutu ialah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Perusahaan yang bermutu adalah perusahaan yang menguasai pangsa pasar karena hasil produksinya sesuai dengan kebutuhan konsumen, sehingga menimbulkan kepuasan bagi konsumen. Jika konsumen merasa puas, maka mereka akan setia dalam membeli produk perusahaan tersebut baik berupa barang maupun jasa. Selaras dengan pernyataan tersebut, SMK yang bermutu adalah apabila sekolah tersebut mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja atau dunia usaha dan dunia industri sehingga lulusan dari SMK terserap di pasar tenaga kerja.
Menurut Feigenbaum (1986:7) mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu produk dianggap bermutu apabila dapat memberi kepuasan sepenuhnya pada konsumen, yaitu sesuai dengan harapan konsumen atas produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Dalam konteks pendidikan, sekolah yang bermut apabila sekolah tersebut mampu memberi kepuasan pada para siswanya sehingga dapat meningkatkan prestasi hasil belajarnya.
Kepuasan konsumen merupakan perasaan di mana produk yang telah sesuai atau melebihi harapan konsumen. Menjaga kepuasan konsumen sangat penting untuk menjaga citra suatu organisasi. Organisasi yang memiliki reputasi dalam memberikan kepuasan yang tinggi kepada konsumen melakukan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan kompetitornya. Manajemen puncak berkeinginan keras untuk dapat memenuhi kepuasan konsumen dan seluruh karyawan memahami hubungan antara pekerjaan mereka dan kepuasan konsumen (Lamb, Hair & McDaniel, 2001:13). Sementara itu, Kotler (1994:40) menyatakan “Satisfaction is the level of a person’s felt state resulting from comparing a product’s perceived performance (or outcome) in relation to the person’s expectation.
Ekowati (2008:5) kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan kinerja (hasil) produk/jasa yang dipikirkan terhadap kinerja (hasil) yang diharapkan. Fandi Tiptono (2004:23) kepuasan konsumen adalah evaluasi secara sadar atau penilaian kognitif menyangkut apakah kinerja produk relatif bagus atau jelek atau apakah produk bersangkutan cocok atau tidak dengan tujuan/pemakaiannya. Musnanto (2004:125) kepuasan merupakan suatu tingkatan di mana kebutuhan, keinginan dan harapan dari pelanggan dapat terpenuhi yang mengakibatkan terjadinya pembelian ulang atau kesetiaan yang berlanjut. Konsumen yang puas akan membeli produk lain yang dijual oleh institusi, sekaligus menjadi pemasar yang efektif melalui word of mouth yang bernada positif.
Susanto (2003:138) menyatakan bahwa kualitas adalah keseluruhan dari kelengkapan fitur suatu produk atau jasa yang memiliki kemampuan untuk memberi kepuasan terhadap suatu kebutuhan. Thio (2001:65) kualitas pelayanan biasanya merupakan alasan keloyalan konsumen terhadap institusi. Lupiyadi & Hamdani (2006:182) terdapat lima dimensi kualitas jasa meliputi: (a) Keandalan (reliability); (b) Berwujud (tangibles); (c) Daya tanggap (responsiveness); (d) keyakinan (assurance), jaminan dan kepastian kemampuan para pegawai institu; dan (e) Empati (emphaty).
Fandi Tjiptono dan Chandara (2007:121) menyatakan kualitas jasa harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir dengan kepuasan pelanggan serta persepsi positif terhadap kualitas pelayanan. Menurut Thio (2001:67) Keuntungan yang diperoleh dengan adanya kualitas pelayanan yaitu: (1) mempertahankan konsumen; (2) menghindari persaingan harga, institusi yang mempunyai standar kualitas yang tinggi akan mempunyai posisi persaingan yang kuat;  (3) mempertahankan karyawan yang berkualitas; dan (4) mengurangi biaya-biaya.
B.     Siswa sebagai Pelanggan Utama Sekolah
Dalam pengelolaan pendidikan siswa adalah pelanggan utama karena yang secara langsung menerima jasa, pelanggan kedua yaitu orang tua, masyarakat  yang memanfaatkan output dari pendidikan (dunia usaha dan dunia industri) dan pemerintah. Mereka bias kita sebut sebagai pelanggan eksternal, sementara itu pelanggan interal dari pendidikan adalah pengelola pendidikan, guru, dan staff pendidikan (Sallis, 2006:67-71). Karena siswa menjadi pelanggan utama eksternal,  sekolah harus memberi fokus perhatian utama terhadap kebutuhan dan harapan siswa. Kebutuhan dan harapan siswa dalam konteks pendidikan adalah mendapatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk itu institusi pendidikan harus mengutamakan mutu untuk dapat memberi kepuasan pada pelanggan (siswa), suatu institusi pendidikan dikatakan bermutu apabila antara pelanggan internal dan eksternal terjalin kepuasan atas jasa yang diberikan. Maksudnya, apabila pelanggan internal dalam hal ini siswa merasa mendapatkan apa yang diharapkan (dalam konteks SMK)  berupa keterampilan terpenuhi, dan keterampilan tersebut dapat mengisi tenaga kerja  yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan dunia industri sebagai pelanggan eksternal.
Maka dari itu, untuk memposisikan institusi pendidikan sebagai industri jasa, harus memenuhi standar mutu, dalam konsep Total Quality Management, harus memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan. Secara operasional mutu ditentukan oleh dua faktor, yaitu terpenuhinya spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya dan terpenuhinya spesifikasi yang diharapkan menurut tuntutan dan kebutuhan pengguna jasa. Mutu yang pertama disebut quality in fact (mutu sesungguhnya) dan yang kedua disebut quality in perception (mutu persepsi). Dalam penyelenggaraannya, quality in fact merupakan profil lulusan yang diharapkan oleh institusi pendidikan yang sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang berbentuk standar kemampuan minimal yang dikuasai oleh peserta didik. Sedangkan quality in perception pendidikan  adalah kepuasan dan bertambahnya minat pelanggan eksternal terhadap lulusan institusi pendidikan (Sallis, 2006:6-7).
Jaminan mutu secara modern diartikan sebagai membangun sistem mutu modern yang dicirikan oleh lima karkteristik, yaitu: (1) sistem mutu modern berorientasi kepada konsumen; (2) sistem mutu modern dicirikan adannya partisipasi aktif dalam proses peningkatan mutu secara kontinyu; (3) sistem mutu modern dicirikan dengan adanya pemahaman dari setiap orang terhadap tanggung jawab yang spesifik untuk mutu; (4) sistem mutu modern dicirikan oleh adany aktivitas yang berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan, bukan berfokus pada mendeteksi keruskan saja; dan (5) sistem mutu modern dicirikan oleh adanya filosofi yang dianggap bahwa mutu merupakan suatu jalan hidup (Nasution, 2005:8-9). Sistem mutu modern tersebut dibagi ke dalam tiga bagian utama, yaitu: (1) mutu design; (2) mutu konformans yang mengacu pada  pembutan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan dalam mutu design; dan (3) mutu pemasaran dan pelayanan purna jual yang berkaitan dengan sejauh mana penggunaan produk memenuhi ketentuan dasar tentang pemasaran, pemeliharaan produk, dan pelayanan purna jual (Gasperz, 2004:97).
Faktor kepuasan guru, siswa, staf sekolah, kepala sekolah, orang tua siswa, masyarakat, dunia kerja dan pemerintah serta stakeholders lainnya sebagai pelanggan pendidikan, merupakan barometer bagi pendidikan bermutu. Pendidikan yang bermutu di institusi pendidikan lahir dari layanan supervisi pengajaran yang bermutu pula. Supervisi oleh kepala sekolah kepada guru bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru dan kinerja profesional guru serta menindaklanjuti hasil evaluasi proses dan hasil pembelajaran untuk peningkatan mutu pembelajaran dan dapat meningkatkan kepuasan siswa (Abdul Hadis & Nurhayati, 2010:81).
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk dapat memenuhi kepuasa siswa, maka SMK harus dapat memenuhi harapan siswa yang mencakup kualitas proses belajar mengajar, kualitas guru, lingkungan sekolah yang aman dan nyaman, pelayanan yang responsif, sarana dan prasarana yang terkini dan modern. Semua difokuskan untuk memenuhi dan meningkatkan kepuasan siswa sehingga dapat mendorong terciptannya kulitas akademik dan dapat menghasilkan lulusan yang juga dapat memenuhi spesifikasi dan standar kualitas yang diharapkan pasar tenaga kerja dan dunia usaha dan dunia industry

C.    Model Pengelolaan  Kepuasan Siswa
Bagi setiap institusi mutu adalah agenda utama dan meningkatkan mutu merupakan tugas yang paling penting termasuk di dalamnya institusi pendidikan SMK. Mutu merupakan suatu hal yang membedakan antara yang baik dan yang sebaliknya. Bertolak dari kenyataan tersebut, mutu dalam pendidikan akhirnya merupakan hal yang membedakan antara kesuksesan dan kegagalan dalam mengelola layanan akademik utamannya pembelajaran. Sehingga, mutu jelas sekali merupakan masalah pokok yang akan menjamin perkembangan sekolah dan meningkatkan kepercayaan sekolah di mata masyarakat. Oleh karena itu, sekolah harus mampu menciptakan kultur mutu, yang mendorong semua warga sekolahnya untuk berkontribusi terhadap kepuasan siswa. Karena kepuasan siswa tidak terlepas dari mutu yang dimiliki oleh sekolahnya yang mencakup kualitas gurunya, nyaman dan megah gedungnya, sarana dan prasarana yang memadai, perpustakaan yang nyaman dengan koleksi buku yang terbaru, lingkungan yang aman, nyaman dan tenang dan pelayanan yang responsif terhadap siswanya sehingga membuat para siswa merasa nyaman dalam belajar.
Masalah mutu produk, baik berupa barang dan jasa bagi perusahaan atau industri dan mutu lulusan bagi lembaga pendidikan menjadi satu hal yang penting. Suatu produk dan lulusan yang bermutu, memungkinkan para pengguna produk dan lulusan dari lembaga pendidikan dapat memperoleh kepuasan. Jika pengguna puas, mereka akan setia menggunakan produk dan lulusan lembaga pendidikan tersebut. Jika para konsumen dari produk dan lulusan lembaga pendidikan semakin setia, suatu perusahaan dan lembaga pendidikan akan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif untuk eksis dan solid dalam berproduksi bagi perusahaan dan dalam menyelenggarakan proses pendidikan bagi institusi pendidikan (Abdul Hadis & Nurhayati, 2010:86-87).
Deming (1982:176) menyatakan bahwa mutu ialah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Perusahaan yang bermutu adalah perusahaan yang menguasai pangsa pasar karena hasil produksinya sesuai dengan kebutuhan konsumen, sehingga menimbulkan kepuasan bagi konsumen. Jika konsumen merasa puas, maka mereka akan setia dalam membeli produk perusahaan tersebut baik berupa barang maupun jasa. Selaras dengan pernyataan tersebut, SMK yang bermutu adalah apabila sekolah tersebut mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja atau dunia usaha dan dunia industri sehingga lulusan dari SMK terserap di pasar tenaga kerja.
Feigenbaum (1986:7) menyatakan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu produk dianggap bermutu apabila dapat memberi kepuasan sepenuhnya pada konsumen, yaitu sesuai dengan harapan konsumen atas produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Dalam konteks pendidikan, sekolah yang bermutu apabila sekolah tersebut mampu memberi kepuasan pada para siswanya berupa layanan prima dalam pembelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi hasil belajarnya.
Kepuasan konsumen merupakan perasaan di mana produk yang telah sesuai atau melebihi harapan konsumen. Menjaga kepuasan konsumen sangat penting untuk menjaga citra suatu organisasi dalam hal ini persepsi positif masyarakat terhadap kualitas SMK. Organisasi yang memiliki reputasi dalam memberikan kepuasan yang tinggi kepada konsumen melakukan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan kompetitornya. Manajemen organisasi berkeinginan keras untuk dapat memenuhi kepuasan konsumen dan seluruh karyawan memahami hubungan antara pekerjaan mereka dan kepuasan konsumen (Lamb, Hair & McDaniel, 2001:13). Sementara itu, Kotler (1994:40) menyatakan “Satisfaction is the level of a person’s felt state resulting from comparing a product’s perceived performance (or outcome) in relation to the person’s expectation.
Ekowati (2008:5) kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan kinerja (hasil) produk/jasa yang dipikirkan terhadap kinerja (hasil) yang diharapkan. Fandi Tjiptono (2004:23) menyatakan kepuasan konsumen adalah evaluasi secara sadar atau penilaian kognitif menyangkut apakah kinerja produk relatif bagus atau jelek atau apakah produk bersangkutan cocok atau tidak dengan tujuan/pemakaiannya. Musnanto (2004:125) kepuasan merupakan suatu tingkatan di mana kebutuhan, keinginan dan harapan dari pelanggan dapat terpenuhi yang mengakibatkan terjadinya pembelian ulang atau kesetiaan yang berlanjut. Konsumen yang puas akan membeli produk lain yang dijual oleh institusi, sekaligus menjadi pemasar yang efektif melalui word of mouth yang bernada positif.
Susanto (2003:138) menyatakan bahwa kualitas adalah keseluruhan dari kelengkapan fitur suatu produk atau jasa yang memiliki kemampuan untuk memberi kepuasan terhadap suatu kebutuhan. Thio (2001:65) kualitas pelayanan biasanya merupakan alasan keloyalan konsumen terhadap institusi. Lupiyadi & Hamdani (2006:182) terdapat lima dimensi kualitas jasa meliputi: (a) Keandalan (reliability); (b) Berwujud (tangibles); (c) Daya tanggap (responsiveness); (d) keyakinan (assurance), jaminan dan kepastian kemampuan para pegawai institusi; dan (e) Empati (emphaty).
Fandi Tjiptono dan Chandara (2007:121) menyatakan bahwa  kualitas jasa harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir dengan kepuasan pelanggan serta persepsi positif terhadap kualitas pelayanan. Menurut Thio (2001:67) Keuntungan yang diperoleh dengan adanya kualitas pelayanan yaitu: (1) mempertahankan konsumen; (2) menghindari persaingan harga, institusi yang mempunyai standar kualitas yang tinggi akan mempunyai posisi persaingan yang kuat;  (3) mempertahankan karyawan yang berkualitas; dan (4) mengurangi biaya-biaya. Oleh karena itu, SMK harus membangun kepuasan sisa dimulai ketika para siswa mendaftar mereka merasakan kebutuhan keterampilan, pada waktu proses pendidikan merasakan kenyamanan dalam pembelajaran dan pada waktu lulus menguasai kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri serta pasar tenaga kerja.
Jaminan mutu secara modern diartikan sebagai membangun sistem mutu modern yang dicirikan oleh lima karkteristik, yaitu: (1) sistem mutu modern berorientasi kepada konsumen; (2) sistem mutu modern dicirikan adannya partisipasi aktif dalam proses peningkatan mutu secara kontinyu; (3) sistem mutu modern dicirikan dengan adanya pemahaman dari setiap orang terhadap tanggung jawab yang spesifik untuk mutu; (4) sistem mutu modern dicirikan oleh adanya aktivitas yang berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan, bukan berfokus pada mendeteksi keruskan saja; dan (5) sistem mutu modern dicirikan oleh adanya filosofi yang dianggap bahwa mutu merupakan suatu jalan hidup (Nasution, 2005:8-9). Sistem mutu modern tersebut dibagi ke dalam tiga bagian utama, yaitu: (1) mutu design; (2) mutu konformans yang mengacu pada  pembuatan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan dalam mutu design; dan (3) mutu pemasaran dan pelayanan purna jual yang berkaitan dengan sejauh mana penggunaan produk memenuhi ketentuan dasar tentang pemasaran, pemeliharaan produk, dan pelayanan purna jual (Gasperz, 2004:97).
Faktor kepuasan guru, siswa, staf sekolah, kepala sekolah, orang tua siswa, masyarakat, dunia kerja dan pemerintah serta stakeholders lainnya sebagai pelanggan pendidikan, merupakan barometer bagi pendidikan bermutu. Pendidikan yang bermutu di institusi pendidikan lahir dari layanan supervisi pengajaran yang bermutu pula. Supervisi oleh kepala sekolah kepada guru bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru dan kinerja profesional guru serta menindaklanjuti hasil evaluasi proses dan hasil pembelajaran untuk peningkatan mutu pembelajaran dan dapat meningkatkan kepuasan siswa (Abdul Hadis & Nurhayati, 2010:81).
SMK sebagai institusi pendidikan harus menempatkan dirinya sebagai institusi jasa/industri jasa yakni institusi yang memberikan pelayanan (service) pembelajaran sesuai dengan apa yang diinginkan dan diharapakan siswa. Layanan pembelajaran yang diharapkan siswa tentu saja yang sesuai dengan kebutuhan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Kualitas lulusan SMK  yang mencerminkan kepuasan siswa terwujud apabila siswa telah mempunyai kompetensi yang  sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang mencakup: (1) sikap yaitu memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia, (2) pengetahuan yaitu memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan kejadian, dan (3) keterampilan yaitu memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan kejadian.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka kepala sekolah dalam mengimplementasikan kepemimpinan pembelajaran harus menyadari bahwa siswa adalah pelanggan utama suatu sekolah. Pengelolaan pelayanan kepada siswa harus menjadi prioritas utama sehingga siswa merasa nyaman dalam belajar dan mendapatkan apa yang mereka harapkan atau mendapatkan kepuasan pelayanan belajar dari sekolahnya.
Strategi pengelolaan kepuasan yang dimaksud berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas di atas tidak terlepas dari variabel-variabel lain yaitu; kinerja guru, komunikasi organisasi dan budaya sekolah. Jadi, kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran perlu melakukan langkah-langkah yang progresif dan konstruktif untuk mengembangkan dan memberdayakan ketiga variabel di atas untuk mengelola kepuasan siswa, yaitu:
1.      Mengembangkan dan memberdayakan kinerja guru yang mencakup dimensi pedagogik, professional, kepribadian dan sosial
2.      Membangun komunikasi organisasi untuk mengkomunikasikan visi dan misi sekolah serta menyelaraskan pemangku kepentingan sekolah yaitu: guru , siswa, masyarakat (orang tua, instansi terkait dan dunia usaha dan dunia industry)
3.      Menciptakan budaya sekolah yang berlandaskan pada nilai-nilai, norma, keyakinan, tradisi dan  peraturan  yang dapat menopang terciptanya iklim akademik yang kondusif
Ketiga variabel tersebut di atas harus dikembangkan dan diberdayakan secara terus menerus kualitas pelayanannya (quality continous improvement and empowernment) sehingga siswa sebagai pelanggan utama sekolah merasa puas. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikembangkan  model pengelolaan kepuasan siswa yang digambarkan sebagai berikut:
Gambar : Model Pengelolaan Kepuasan Siswa













A.    Pengaruh Kepemimpinan Pembelajaran Terhadap Kinerja, Guru Komunikasi Organisasi, Budaya Sekolah dan Kepuasan Siswa

1.      Pengaruh Kepemimpinan Pembelajaran terhadap Kinerja Guru
Hasil penelitian  menunjukan peran penting kepala sekolah dalam pengelolaan sumber daya sekolah yang berfokus pada kinerja guru. Kepala sekolah sebagai pemimpinan pembelajaran  dapat menggerakkan sumber daya sekolah mencapai berbagai tujuan pendidikan, di mana salah satu jalannya melalui optimalisasi dan pemberdayaan kinerja guru. 
Kepala sekolah mengarahkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) untuk selalu komit dan fokus pada perbaikan kualitas pembelajaran dalam rangka meningkatkan layanan prima di bidang pembelajaran kepada siswa. Oleh karena itu, kepala sekolah harus memperhatikan kompetensi dan pengetahuan guru secara terus menerus, mendorong dan memfasilitasi untuk terjadinya perbaikan dan peningkatan. Melalui proses ini kegiatan belajar mengajar diharapkan dapat berjalan secara efektif dan efisien dan pada akahirnya dapat meningkatkan kepuasan siswa dan prestasi belajar siswa.
Kepala sekolah dalam perencanaan PBM, mengarahkan dan membimbing para guru dalam mengidentifikasi kebutuhan, minat, bakat dan kemampuan siswa, menyusun tujuan pelajaran, mengembangkan silabus, mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran, memilih bahan ajar dan memilih metode mengajar yang cocok dengan kondisi siswa. Dalam pelaksanaan pembelajaran, membimbing guru dan memfasilitasi guru dalam mengembangkan dan menggunakan berbagai metode mengajar. Dalam evaluasi pembelajaran, membimbing guru dalam menyusun alat tes, menganalisis hasil tes, menentukan ketuntasan hasil belajar, dan menilai efektivitas pembelajaran. Demikian pula dalam manajemen kelas, mengarahkan dan membimbing para guru dalam mengelola siswa, mengelola perlatan dan laboratorium. Di samping dikembangkan kinerjanya, kepala sekolah juga mengevaluasi kinerja guru.
Hasil penelitian ini selaras dengan teori dan hasil penelitian yang dilakukan oleh  Blase & Blase (1999)
Model of effective instructional leadership was derived directly from the data; it consists of the two major themes: talking with teachers to promote refelection and promoting professional growth and effective principals are expected to be effective instructional leaders, the principal must be knowledgable about curriculum development, teachers and instructional effectiveness, clinical supervision, staff development, and teacher evaluation.
Berdasarkan pendapat Blasé & Blasé dapat diartikan bahwa kepemimpinan pembelajaran yang efektif berasal dari dua tema yaitu: berdiskusi dengan para guru untuk meningkatkan refleksi dan meningkatkan kinerja secara professional. Demikian pula kepa sekolah yang efektif diharapkan dapat menjadi pemimpin pembelajaran yang efektif oleh karena itu kepala sekolah seharusnya memahami perkembangan kurikulum dan guru, efektivitas pembelajaran, supervisi, pengembangan staff dan evaluasi kinerja guru.
Petterson  (1993) kepala sekolah memberi dukungan terhadap pembelajaran, misalnya mendukung bahwa pengajaran yang memfokuskan pada kepentingan belajar siswa harus menjadi prioritas, Daresh dan Playco (1995) kepemimpianan pembelajaran sebagai upaya memimpin para guru agar mengajar lebih baik, yang pada gilirannya dapat memperbaiki prestasi siswa.
Cosner & Peterson (2003) “...promoting teachers professional development is the most influential educational leadership behavior,  (May Jo, 2007) memfokuskan sebagian besar waktunya untuk meningkatkan mutu guru dan pemanfaatannya secara optimal dalam pembelajaran, Findley (1992) if a school is to be an effective one, it will be because of the instructional leadership of the principal…, Anwar &  Amir (2000) dalam Daryanto (2011:30) kepala sekolah memiliki tugas mengembangkan kinerja personnel, terutama meningkatkan professional guru. (Hopkins, 2000) menyatakan Instructional leaders are able to create synergy between a focus on teaching and learning on the one hand, and capacity building on the other. Jadi, kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran  mampu menciptakan sinergi antara fokus pada pengajaran dan pembelajaran di satu sisi dan kapasitas pembentukan kualitas proses belajar mengajar pada sisi lain.
Halverson, et al (2005:6) menyatakan “...The definition of instructional leadership has been expanded to towards deeper involvement in the core business of schooling which is teaching and learning. Attention has shifted from teaching to learning. Definisi kepemimpinan pembelajaran telah diperluas keterlibatan lebih mendalam dalam kegiataan inti sekolah yaitu pengajaran dan pembelajaran, perhatian telah bergeser dari pengajaran ke pembelajaran. Sementara itu, Robinson (2011:82) menyatakan “Instructional leadership is performed by all teachers who have some responsibility, beyond their own classroom, for the quality of learning and teaching. Artinya, kepemimpinan pembelajaran ditunjukkan oleh semua guru yang mempunyai tanggung jawab terhadap kualitas pembelajaran dan pengajaran.
2.      Pengaruh Kepemipinan Pembelajaran terhadap Komunikasi Organisasi
Temuan pengaruh positif kepemimpinan pembelajaran terhadap komunikasi organisasi menginterpretasikan kepemimpinan pembelajaran memberi kontribusi sangat kuat terhadap komunikasi organisasi. dengan  kontribusi sebesar 0,529² atau 27,98 %. Hasil tersebut menunjukan peran penting kepala sekolah membangun kesepahaman pemangku di sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran mempunyai peran dan fungsi dalam mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan visi misi, program, peraturan dan kebijakan-kebijakan kepada guru, siswa, orang tua, instansi terkait dan membangun kerjasama dengan masyarakat (dunia usaha dan dunia industri). Kemampuan kepala sekolah dalam berkomunikasi dimaksudkan agar hal-hal tersebut di atas dapat difahami dan diterima serta dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga dapat mendukung kegiatan pembelajaran yang kondusif.
Temuan penelitian ini selaras dan relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pashiardis, et al (2011:544) menyatakan “The strong interpersonal relationships among the principal and the teachers as well as the principal’s approachable personality effectively created a strong culture of cooperation in the school”. Artinya, hubungan (komunikasi) antar personal yang kuat antara kepala sekolah dan para guru demikian pula pendekatan pribadi kepala sekolah mampu menciptakan budaya kuat kerjasama di sekolah. Pada sisi yang lain, Rapp (2011:471) menyatakan “...successful superintendents will be those who have excellent  communication skills, understand the instructional process, and work to create coalition that will ensure the financial and educational suvival of the public systems.” Artinya, kepala sekolah yang berhasil adalah mereka yang memiliki keterampilan komunikasi sangat baik, dan bekerja untuk menciptakan hubungan yang akan memastikan keberlangsungan hidup pendidikan dan keuangan sistem publik. Sementara itu, Mulyasa (2009:187) menyatakan kepala sekolah senantiasa dituntut untuk berusaha membina dan mengembangkan komunikasi  dan hubungan kerja sama  baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien.
Riesenmy (2008:63) menyatakan bahwa:
Visionary leadership have the ability to clearly communicate the organizational vision. These leadership have personal characteristics that create follower self-confidence and trust. They empower their follower by creating an organizational culture that is caring and drives high performance.

Artinya, kepemimpinan visoner mempunyai kemampuan untuk mengkomunikasikan visi organisasinya dengan jelas. Kepemimpinan tersebut mempunyai karakter pribadi yang dapat menciptakan pengikutnya percaya diri. Mereka memberdayakan pengikutnya dengan menciptakan budaya organisasi yang memperhatikan  dan mendorong kinerja tinggi.
Kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki dan dikuasai oleh kepala sekolah. Berbekal kemampuan melakukan komunikasi yang efektif dengan guru, orang tua, siswa dan masyarakat, dia akan lebih mudah dan berhasil dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah.
Berdasarkan hasil pembahasan pengaruh kepemimpinan pembelajaran terhadap komunikasi organisasi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini terbukti secara empiris dan memperkuat teori-teori dan penelitian yang relevan yang digunakan dalam penelitian ini. Alasannya, kepala sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin pembelajaran memang tidak terlepas dari komunikasi organisasi baik secara internal maupun eksternal. Oleh karena itu, penting bagi kepala sekolah selalu membangun komunikasi organisasi yang konstruktif. Kesesuain antara bangunan teori dan penelitian yang relevan dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa teori-teori yang dibangun dan didukung penelitian yang relevan secara empiris terbukti dan memperkuat hasil penelitian.
3.      Pengaruh Kepemimpinan Pembelajaran terhadap Budaya Sekolah
Temuan kepemimpinan pembelajaran berpengaruh positif terhadap budaya sekolah  sebesar 0,541 . Hasil tersebut menunjukkan kepemimpinan pembelajaran memberi kontribusi kuat terhadap budaya sekolah dengan besar kontribusi sebesar 0,541² atau 29,7% dan merupakan fakta yang menegaskan bahwa kesuksesan pembangunan budaya sekolah tidak terlepas dari peran kepala sekolah. Kepala Sekolah melalui kewenangannya dapat mendorong kondisi yang mendukung pembangunan budaya sekolah, seperti menanamkan kebiasaan positif, nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma yang dapat mendukung terciptanya suasana proses belajar mengajar yang kondusif dan progresif. Dalam praktiknya kepala sekolah menciptakan iklim akademik yang dibangun dengan membuat kebijakan-kebijakan dan program-program sekolah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hasil belajar siswanya, mengembangkan dan memelihara lingkungan agar selalu disiplin dalam belajar, tertib, aman dan nyaman untuk belajar, membangun dan memelihara rasa kekeluargaan yang kuat, menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang muncul baik etnis, sosial, ekonomi dan agama serta membangun nilai-nilai solidaritas di sekolahnya.
Hasil (temuan) penelitian ini selaras dengan teori dan penelitian yang dilakukan oleh (Squires & Kranyik, 1996) menemukan “A positive school culture may have a significant influence on the academic and social  success of the students within schools.”  Artinya budaya sekolah yang positif akan berpengaruh terhadap prestasi akademik dan keberhasilan sosial para siswa di dalam sekolah”.
 (Becker & Becker, 1992) When a school exhibits characteristics of positive culture, there are fewer suspensions, increased attendance rates, and increased achievement of standardized test scores. Artinya bilamana sekolah menunjukkan karakteristik budaya sekolah yang positif, dapat meningkatkan rata-rata kehadiran, dan peningkatan prestasi standar nilai tes. (Ross,2007) menyatakan “Working collaboratively with school leadership and teachers to strenghten the culture of the school , with the intent of improving teaching practice and students learning, is  a promising school reform strategy).  Artinya, kerjasama antara kepemimpinan sekolah dan para guru untuk memperkuat budaya sekolah, dengan tujuan memperbaiki praktek pengajaran dan pembelajaran para siswa adalah merupakan strategi reformasi sekolah.
Hoy & Hoy (2003:2) menyatakan “The principal, however, is responsible for developing a school climate that is conducive to providing the very best practice instructional practices”. Artinya,   kepala sekolah bagaimanapun seharusnya bertanggung jawab mengembangkan iklim sekolah yang kondusif untuk menyediakan praktik terbaik  pembelajaran. (Fink & Resnick, 2011:7)  As Instructional leaders, principal has to lead—by creating a culture of learning by providing the right kinds of specialized professional development opportunities when they are needed . Sebagai pemimpin pembelajaran seorang kepala sekolah harus mampu menciptakan kultur pembelajaran dengan menyediakan kesempatan pengembangan profesional secara khusus ketika hal tersebut diperlukan.
Veithzal & Deddy (2010:256) menyatakan budaya organisasi adalah apa yang karyawan rasakan dan bagaimana persepsi ini menciptakan suatu pola teladan kepercayaan, nilai-nilai, dan harapan. Aas Hasanah (2008:12) menyatakan Budaya sekolah dapat digambarkan melalui sikap saling mendukung (supportive), tingkat persahabatan (colegial), tingkat keakrapan (intimate) serta kerja sama (cooperative).
Riduan (2009:19) menyatakan budaya sekolah merupakan salah satu ciri dari sekolah efektif. Dengan adannya kondisi budaya sekolah yang kondusif akan memberikan dampak positif  bagi siswa untuk belajar. Peterson (2002:23) suggests that culture is built within a school over time as teachers, school leaders, parents and students work together. Berdarakan pernyataan Peterson tersebut dapat dijelaskan bahwa budaya sekolah yang dibangun dalam sekolah dapat mendorong kerjasama antara guru, pemimpin sekolah, orang tua dan para siswa. Hoy & Miskel (2008:198)  menyatakan “...A common definition of school climate is “the set of internal characteristics that distinguish one school from another and influence the behavior of each school’s members”. Artinya, secara umum iklim sekolah/budaya sekolah merupakan seperangkat karakteristik internal yang membedakan satu sekolahan dengan sekolah lainnya dan mempengaruhi perilaku setiap anggota sekolah.
Berdasarkan hasil pembahasan pengaruh kepemimpinan pembelajaran terhadap budaya sekolah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini memperkuat teori-teori dan penelitian relevan yang digunakan dalam penelitian ini seacara empiris terbukti. Alasannya, karena setiap kepala sekolah harus mampu membangun budaya sekolah yang dapat mendorong peningkatan kualitas pembelajaran. Penting bagi kepala sekolah menanamkan nilai-nilai, norma, keyakinan, tradisi, peraturan dan iklim organisasi kepada seluruh warga sekolah harus serta menjadi perhatian kepala sekolah dalam melaksankan fungsinya sebagai pemimpin pembelajaran. Hasil penelitian ini menjelaskan teori-teori yang dibangun dan didukung penelitian yang relevan secara empiris terbukti.
4.      Pengaruh Kepemimpinan Pembelajaran terhadap Kepuasan Siswa
Temuan kepemimpinan pembelajaran berpengaruh positif terhadap kepuasan siswa secara langsung dengan kontribusi sebesar 0,291, angka ini menjelaskan kontribusi sebesar 8,47 %.  Hasil tersebut mengartikan bahwa kepemimpinan pembelajaran akan memberi dampak nyata pada kepuasan siswa. Oleh karenanya penting untuk melayani guna pemenuhan kebutuhan dan harapan siswa dengan prima  sehingga siswa akan merasa puas. Kepuasan siswa dapat tercapai apabila siswa merasa apa yang diterimanya sama atau melebihi dari yang mereka harapkan. Hal-hal yang dilakukan kepala sekolah agar siswanya merasa puas adalah menyediakan guru yang berkualitas, sarana prasarana yang memadai, laboratorium yang modern, perpustakaan yang nyaman dan lengkap, ruang kelas yang bersih dan nyaman,   serta lingkungan sekolah yang tenang dan nyaman untuk belajar dan layanan prima kepada siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi siswa. Agar supaya siswa merasakan kepuasan di sekolahnya, kepala sekolah bersama guru dan karyawan untuk memberikan layanan pembelajaran yang berkualitas kepada siswa karena siswa merupakan pelanggan utama sekolah yang harus menjadi fokus perhatian.
Hasil penelitian ini selaras dengan teori dan hasil penelitian yang dilakukan oleh  Deming (1982:176) mutu ialah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Menurut Feigenbaum (1986:7) mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu produk dan lulusan yang bermutu, memungkinkan para pengguna produk dan lulusan dari lembaga pendidikan dapat memperoleh kepuasan, kepuasan yang dimaksud tercapai apabila siswa mempunyai kompetensi yang sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja sehingga mereka akan siap terjun ke lapangan kerja atau berwirausaha ketika mereka lulus. Jika pengguna puas, mereka akan setia menggunakan produk dan lulusan lembaga pendidikan tersebut (Abdul Hadis & Nurhayati, 2010:86-87). Kotler (1994:40) menyatakan “Satisfaction is the level of a person’s felt state resulting from comparing a product’s perceived performance (or outcome) in relation to the person’s expectation. Ekowati (2008:5) kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan kinerja (hasil) produk/jasa yang dipikirkan terhadap kinerja (hasil) yang diharapkan. Fandi Tiptono (2004:23) kepuasan konsumen adalah evaluasi secara sadar atau penilaian kognitif menyangkut apakah kinerja produk relatif bagus atau jelek atau apakah produk bersangkutan cocok atau tidak dengan tujuan/pemakaiannya. Musnanto (2004:125) kepuasan merupakan suatu tingkatan di mana kebutuhan, keinginan dan harapan dari pelanggan dapat terpenuhi yang mengakibatkan terjadinya pembelian ulang atau kesetiaan yang berlanjut. Fandi Tjiptono dan Chandra (2007:121) menyatakan kualitas jasa harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir dengan kepuasan pelanggan serta persepsi positif terhadap kualitas pelayanan.
Berdasarkan hasil pembahasan pengaruh kepemimpinan pembelajaran terhadap kepuasan siswa tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini memperkuat teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini (Bab 2).  Kepuasan siswa dapat tercapai apabila apa yang mereka harapkan dapat terpenuhi oleh sekolah. Kepuasan yang dimaksud berupa kualitas guru, lancarnya komunikasi, budaya sekolah yang mampu mendukung terciptanya kualitas pembelajaran dan sarana prasarana yang memadai. Hasil penelitian ini menjelaskan teori-teori yang dibangun dan didukung penelitian yang relevan secara empiris terbukti.

B.     Model Pengelolaan Kepuasan Siswa
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka kepala sekolah dalam mengimplementasikan kepemimpinan pembelajaran harus menyadari bahwa siswa adalah pelanggan utama suatu sekolah. Pengelolaan pelayanan kepada siswa harus menjadi prioritas utama sehingga siswa merasa nyaman dalam belajar dan mendapatkan apa yang mereka harapkan atau mendapatkan kepuasan pelayanan belajar dari sekolahnya.
Strategi pengelolaan kepuasan yang dimaksud berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Sukris 2014 ditemukan bahwa terpenuhinya kepuasan siswa  tidak terlepas dari yaitu; kepemimpinan pembelajaran, kinerja guru, komunikasi organisasi dan budaya sekolah. Jadi, kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran perlu melakukan langkah-langkah yang progresif dan konstruktif untuk mengembangkan dan memberdayakan ketiga variabel di atas untuk mengelola kepuasan siswa, yaitu:
1.      Mengembangkan dan memberdayakan kinerja guru yang mencakup dimensi pedagogik, professional, kepribadian dan sosial
2.      Membangun komunikasi organisasi untuk mengkomunikasikan visi dan misi sekolah serta menyelaraskan pemangku kepentingan sekolah yaitu: guru , siswa, masyarakat (orang tua, instansi terkait dan dunia usaha dan dunia industry)
3.      Menciptakan budaya sekolah yang berlandaskan pada nilai-nilai, norma, keyakinan, tradisi dan  peraturan  yang dapat menopang terciptanya iklim akademik yang kondusif
Ketiga variabel tersebut di atas harus dikembangkan dan diberdayakan secara terus menerus kualitas pelayanannya (quality continous improvement and empowernment) sehingga siswa sebagai pelanggan utama sekolah merasa puas. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikembangkan  model pengelolaan kepuasan siswa yang digambarkan sebagai berikut:
Gambar : Model Pengelolaan Kepuasan Siswa














F.     Kajian Penelitian yang Relevan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pramudia (2012) tentang kepemimpinan pembelajaran ditemukan bahwa kepemimpinan pembelajaran berpengaruh terhadap prestasi siswa dan kepemimpinan pembelajaran mempunyai peran dalam menciptakan kondisi dan lingkungan sekolah yang mendorong pencapaian prestasi siswa. Penelitian tersebut dilaksanakan di SMA Indramayu. Demikian pula penelitian yang dilakukan Erlika (2014) tentang peran kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran yang berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar di SMA Negeri di Jombang.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thomas  & Wahyu (2007) menyatakan bahwa kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh terhadap kepuasan atas komitmen organisasi, kualitas kehidupan kerja dan prilaku ekstra peran di SMU di Kota Surabaya. Penelitian yang dilakukan oleh (Muhyi, Dantes & Lasmawan, 2013) menghasilkan supervisi pembelajaran berpengaruh terhadap kepemimpinan kepala sekolah, kompetensi guru terhadap kinerja mengajar guru di Kecamatan Aikmel.
Penelitian kepemimpinan terhadap kepuasan siswa dan dampaknya terhadap prestasi belajar siswa SMK di Kota Tasik Malaya. Teknik pengumpulan data menggunakan angket dan pengujian hipotesis dilakukan dengan analisis jalur (path analysis). Hasil peneltian yang dilakukan oleh sudarmadi (2007) menyatakan bahwa budaya organisasi dan gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan kinerja karyawan.
Penelitian yang menghasilkan bahwa gaya kepemimpinan  berpengaruh terhadap motivasi berprestasi dan prestasi belajar siswa SMA Negeri di Bali. Populasi penelitian ini adalah SMA Negeri di Bali dengan sampel sebanyak 297 orang siswa kelas II sebagai subjek penelitian (Niketut Suarni, 2006).

Pengaruh kepemimpinan pembelajaran (instructional leadership) terhadap peningkatan hasil belajar siswa sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejumlah ahli pendidikan telah melakukan penelitian tentang pengaruh kepemimpinan pembelajaran terhadap peningkatan hasil belajar, mereka menyimpulkan bahwa: “If our schools are to improve, we must redefine the principal’s role and move instructional leadership to the forefront (Bufie, 1989). If a school is to be an effective one, it will because of the instructional leadership of the principal…(Findley, 1992) dan “Effective principals are expected to be effective instructional leaders….the principal must be knowledgable about curriculum development, teachers and instructional effectiveness, clinical supervision, staff development, and teacher evaluation (Hanny, 1987).  Berdasarkan temuan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan pembelajaran. Artinya, jika hasil belajar siswa ingin ditingkatkan, maka kepemimpinan yang menekankan pada pembelajaran harus diterapkan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh James (1985) bahwa seorang kepala sekolah dan sekolah yang berhasil menunjukkan adanya: (1) keterkaitan terhadap perbaikan pengajaran, (2) pengetahuan dari/dan partisipasi yang kuat di dalam aktivitas kelas, (3) pemantauan terhadap penggunaan efektivitas waktu pelajaran, (4) usaha membantu efektivitas program tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelajaran, dan (5) memiliki sikap positif ke arah para guru, pustakawan, laboran, tenaga administrasi dan para siswa.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cotton (1995) diperoleh hasil bahwa perilaku kepala sekolah (pemimpin pembelajaran), guru, dan staff memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap peningkatan efektivitas pembelajaran di sekolah.
Hasil penelitian Blase & Blase (1999) “...model of effective instructional leadership was derived directly from the data; it consists of the two major themes: talking with teachers to promote refelection and promoting professional growth.”  Artinya, model kepemimpinan pembelajaran yang efektif secara langsung berasal dari dua tema penting yaitu berbicara dengan para guru untuk meningkatkan releksi dan meningkatkan perkembangan yang profesional.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Stronge (1988) menunjukkan bahwa dari seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh sekolah, hanya 10 persen yang dialokasikan untuk kepemimpinan pembelajaran. Sampai sekarangpun banyak kepala sekolah yang masih menyeimbangkan perannya sebagai manager, administrator, supervisor, dan instructional leader (kepemimpinan pembelajaran). Adapun alasan yang dikemukakan antara lain kurangnya pelatihan tentang kepemimpinan pembelajaran, kurangnya waktu untuk melaksanakan kepemimpinan pembelajaran, banyaknya kegiatan administratif yang harus dilaksanakan, dan adanya harapan dari masyarakat bahwa peran kepala sekolah utamanya adalah seorang manager (Flath, 1989; Fullan, 1991).
Effective isntructional leadership is generally recognized as the most important charateristic of school admonsistartor (Hoy & Hoy (2009), dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cosner & Peterson (2003) “...promoting teachers professional development is the most influential educational leadership behavior.
Berdasarkan hasil penelitian (May Jo, 2007) tentang kepemimpinan pembelajaran dinyatakan bahwa kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran harus melaksanakan tugas dan fungsi sebagai berikut; (1) memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi di ruang kelas, melakukan pengamatan proses pembelajaran, dan mendorong peningkatan kinerja guru dan siswa untuk mencapai hasil maksimal, (2) menelusuri hasil-hasil test siswa dan indikator-indikator lainnya untuk membantu guru dalam memfokuskan perhatiannya terhadap siswa yang mengalami kesulitan dan yang memerlukan bantuan guru untuk mengatasinya, (3) memfokuskan sebagian besar waktunya untuk meningkatkan mutu guru dan pemanfaatannya secara optimal dalam pembelajaran, (4) memberikan tantangan baru kepada guru untuk meneliti tentang dirinya sendiri apakah yang bersangkutan masih tergolong guru tradisional (out of date) atau guru modern (up to date) dan (5) memberikan kesempatan kepada para guru untuk berbagai informasi dan bekerja sama untuk mengembangkan kurikulum dan pembelajarannya.
Berdasarkan penelitian (Squires & Kranyik, 1996) ditemukan “A positive school culture may have a significant influence on the academic and social  success of the students within schools”. Artinya, budaya sekolah yang positif berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan akademik dan sosial siswa di dalam sekolah.
When a school exhibits characteristics of positive culture, there are fewer suspensions, increased attendance rates, and increased achievement of standardized test scores (Becker & Hedges, 1992).
Working collaboratively with school leadership and teachers to strenghten the culture of the school , with the intent of improving teaching practice and students learning, is  a promising school reform strategy (Ross, 2007).  Maksudnya,  kerjasama (komunikasi) antara kepemimpinan sekolah dan para guru untuk memperkuat budaya sekolah, dengan tujuan memperbaiki praktek pengajaran dan pembelajaran para siswa adalah merupakan strategi reformasi sekolah yang memungkinkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Glathhorn (1993), ditemukan lima hal yang penting dalam membentuk budaya sekolah yang dapat melatih siswa dalam mencapai keberhasilan belajar dan juga iklim sekolah yang sehat, yaitu: (1) sekolah sebagai komunitas kolaboratif dan komunitas belajar; (2) ada keyakinan bersama untuk mencapai tujuan; (3) peningkatan sekolah dicapai melalui proses pemecahan masalah; (4) seluruh warga sekolah apakah itu kepala sekolah, guru dan siswa diyakinkan dapat mencapainya; dan (5) pembelajaran merupakan prioritas utama.
Berdasarkan penelitian tentang kepemimpinan pembelajaran yang dilakukan  Cotton (1995) dinyatakan perilaku  kepala sekolah yang menerapkan kepemimpinan pembelajaran berkontribusi sigifikan terhadap peningkatan efektivitas pembelajaran di sekolah.
Hasil penelitian-penelitian yang  dilakukan sebelumnya selaras dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu mengungkap pengaruh kepemimpinan pembelajaran. Jadi, penelitian yang berjudul pengaruh kepemimpinan pembelajaran terhadap kinerja guru, komunikasi organisasi, budaya sekolah dan kepuasan siswa diharapkan dapat memperkuat dan mengembangkan hasil penelitian-penelitian yang telah dipaparkan di atas.