Wednesday 8 July 2015
On 22:01 by Dr. SUKRIS SUTIYATNO, MM., M.Hum No comments
PEMBELAJARAN
KONTEKSTUAL
Sukris Sutiyatno
Di sampaikan dalam Kegiatan: Pengabdian pada
Masyarakat
CONTEXTUAL TEACHING LEARNING : KONSEP BELAJAR YANG MENGKAITKAN ANTARA MATERI YANG DIAJARKANNYA DENGAN SITUASI DUNIA NYATA SISWA DAN MENDORONG SISWA MEMBUAT HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUANYANG DIMILIKINYA DENGAN PENERAPANNYA DALAM KEHIDUPAN MEREKA SEBAGAI ANGGOTA KELUARGA DAN MASYARAKAT.
DALAM KELAS KONTEKSTUAL TUGAS GURU ADALAH MEMBANTU SISWA
MENCAPAI TUJUANNYA. MAKSUDNYA GURU LEBIH BANYAK BERURUSAN DENGAN STRATEGI
DARIPADA MEMBERI INFORMASI.
PENERAPAN CTL DALAM KELAS :
1. KEMBANGKAN PEMIKIRAN BAHWA
ANAK AKAN BELAJAR LEBIH BERMAKNA DENGAN CARA BEKERJA SENDIRI, MENEMUKAN
SENDIRI, DAN MENGKONSTRUKSI SENDIRI PENGETAHUAN DAN KETRAMPILAN BARUNYA.
2. LAKSANAKAN SEJAUH MUNGKIN
KEGIATAN INKUIRI UNTUK SEMUA TOPIK
3. KEMBANGKAN SIFAT INGIN TAHU
SISWA DENGAN BERTANYA
4. CIPTAKAN MASYARAKAT BELAJAR
(BELAJAR DALAM KELOMPOK-KELOMPOK)
5. HADIRKAN MODEL SEBAGAI
CONTOH PEMBELAJARAN
6. LAKUKAN REFLEKSI DIAKHIR
PERTEMUAN
7. LAKUKAN PENILAIAN YANG
SEBENARNYA DENGAN BERBAGAI CARA
TUJUH KOMPONEN CTL :
1. KONSTRUKTIVISME :
LANDASAN BERPIKIR
KONSTRUKTIVISME AGAK BERBEDA DENGAN PANDANGAN KAUM OBJEKTIVIS, YANG LEBIH
MENEKANKAN PADA HASIL PEMBELAJARAN. DALAM PANDANGAN KONSTRUKTIVIS, ‘STRTAEGI
MEMPEROLEH’ LEBIH DIUTAMAKAN DIBANDINGKAN SEBERAPA BANYAK SISWA MEMPEROLEH DAN
MENGINGAT PENGETAHUAN. UNTUK ITU, TUGAS GURU ADALAH MEMFASILITASI PROSES
TERSEBUT DENGAN :
1) MENJADIKAN PENGETAHUAN
BERMAKNA DAN RELEVAN BAGI SISWA,
2) MEMBERI KESEMPATAN SISWA
MENEMUKAN DAN MENERAPKAN IDENYA SENDIRI, DAN
3) MENYADARKAN SISWA AGAR
MENERAPKAN STRATEGI MEREKA SENDIRI DALAM BELAJAR
2. MENEMUKAN
MENEMUKAN MERUPAKAN BAGIAN
INTI DARI KEGIATAN PEMBELAJARAN BERBASIS CTL. PENGETAHUAN DAN KETRAMPILAN YANG
DIPEROLEH SISWA DIHARAPKAN BUKAN HASIL MENGINGAT SEPERANGKAT FAKTA-FAKTA,
TETAPI HASIL DARI MENEMUKAN SENDIRI.
INQUIRI TIDAK HANYA
DITERAPKAN PADA PELAJARAN IPA, TETAPI DAPAT DITERAPKAN PADA SEMUA BIDANG STUDI
: MISALNYA BAHASA INDONESIA (MENEMUKAN CARA MENULIS PARAGRAPH DESKRIPSI); IPS
(MEMBUAT SENDIRI BAGAN SILSILAH RAJA-RAJA MAJAPAHIT); PPKN (MENEMUKAN PERILAKU
BAIK DAN PERILAKU BURUK ). KATA KUNCI DARI INQUIRI ADALAH SISWA MENEMUKAN
SENDIRI.
LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN
MENEMUKAN ADALAH :
(1) MENEMUKAN MASALAH
(2) MENGAMATI ATAU MELAKUKAN
OBSERVASI
(3) MENGANALISIS DAN MENYAJIKAN HASIL
DALAM TULISAN, GAMBAR, LAPORAN, BAGAN, TABEL, DAN KARYA LAIN
(4) MENGKOMUNIKASIKAN ATAU
MENYAJIKAN HASIL KARYA PADA PEMBACA, TEMAN SEKELAS, GURU, ATAU AUDIEN YANG LAIN
3. BERTANYA
BERTANYA MERUPAKAN STRATEGI
UTAMA PEMBELAJARAN BERBASIS CTL.
KEGIATAN BERTANYA BERGUNA
UNTUK :
(1) MENGGALI INFORMASI, BAIK
ADMINISTRASI MAUPUN AKADEMIS
(2) MENGECEK PEMAHAMAN SISWA
(3) MEMBANGKITKAN RESPON KEPADA
SISWA
(4) MENGETAHUI SEJAUHMANA
KEINGINAN SISWA
(5) MENGETAHUI HAL YANG SUDAH
DIKETAHUI SISWA
(6) MEMFOKUSKAN PERHATIAN SISWA
PADA SESUATU YANG DIKEHENDAKI SISWA
(7) UNTUK MEMBANGKITKAN LEBIH
BANYAK LAGI PERTANYAAN DARI SISWA
(8) UNTUK MENYEGARKAN LAGI
KEMBALI PENGETAHUAN SISWA
PENERAPANNYA : ANTARA SISWA
DENGAN SISWA, ANTARA GURU DENGAN SISWA, ANTARA SISWA DENGAN GURU, ANTARA SISWA
DENGAN ORANG LAIN YANG DIDATANGKAN.
4. MASYARAKAT BELAJAR
KONSEP LEARNING COMMUNITY
MENYARANKAN AGAR HASIL PEMBELAJARAN DIPEROLEH DARI KERJASAMA DENGAN ORANG LAIN.
DLM KELAS CTL GURU
DISARANKAN SELALU MELAKSANAKAN PEMBELAJARAN DLM KELOMPOK-KELOMPOK BELAJAR.
GURU MEELAKUKAN KOLABORASI
DENGAN MENDATANGKAN SEORANG AHLI KE KELAS. MISALNYA TUKANG SABLON, PETANI
JAGUNG, TEKNISI KOMPUTER, DOKTER DSB.
5. PEMODELAN
MAKSUDNYA ADALAH SEBUAH
PEMBELAJARAN KETRAMPILAN ATAU PENGETAHUAN TERTENTU, ADA MODEL YANG DITIRU.
MODEL ITU BISA BERUPA CARA MENGOPERASIKAN SESUATU, CARA MELEMPAR BOLA DALAM OR,
CONTOH KARYA TULIS, CARA MELAFALKAN BAHASA INGGRIS DSB. ATAU GURU MEMBERI
CONTOH CARA MENGERJAKAN SESUATU. DENGAN BEGITU, GURU MEMBERI MODEL TENTANG
‘BAGAIMANA CARA BELAJAR’.
6. REFLEKSI
REFLEKSI ADALAH CARA
BERPIKIR TENTANG APA YANG BARU DIPELAJARI ATAU BERPIKIR KE BELAKANG TENTANG
APA-APA YANG SUDAH KITA LAKUKAN DI MASA YANG LALU.
REFLEKSI MERUPAKAN RESPON
TERHADAP KEJADIAN, AKTIVITAS, ATAU PENGETAHUAN YANG BARU DITERIMA. MISALNYA,
KETIKA PELAJARAN BERAKHIR, SISWA MERENUNG ‘KALAU BEGITU, CARA SAYA MENYIMPAN DI
FILE ITU SALAH, YA! MESTINYA, DENGAN CARA YANG BARU SAYA PELAJARI INI, FILE
KOMPUTER SAYA LEBIH TERTATA.
PADA AKHIR PEMBELAJARAN,
GURU MENYISAKAN WAKTU SEJENAK AGAR SISWA MELAKUKAN REFLEKSI. REALISASINYA
BERUPA :
·
PERNYATAAN LANGSUNG TENTANG APA-APA YANG DIPEROLEHNYA HARI ITU
·
CATATAN ATAU JURNAL DI BUKU SISWA
·
KESAN DAN SARAN SISWA MENGENAI PEMBELAJARAN HARI ITU
·
DISKUSI
·
HASIL KARYA
7. PENILAIAN YANG SEBENARNYA
ADALAH PROSES PENGUMPULAN
BERBAGAI DATA YANG BISA MEMBERIKAN GAMBARAN PERKEMBANGAN BELAJAR SISWA.
PENILAIAN TIDAK HANYA
DILAKUKAN DI AKHIR PERIODE (CAWU/SEMESTER) PEMBELAJARAN SEPERTI PADA KEGIATAN
EVALUASI HASIL BELAJAR (EBTANAS) TETAPI DILAKUKAN BERSAMA DENGAN SECARA
TERINTEGRASI (TIDAK TERPISAHKAN) DARI KEGIATAN PEMBELAJARAN.
KEMAJUAN BELAJAR DINILAI
DARI PROSES BUKAN MELULU HASIL.
KARAKTERISTIK PENILAIAN SEBENARNYA :
·
DILAKSANAKAN SELAMA DAN SESUDAH PROSES PEMBELAJARAN
·
BISA DIGUNAKAN FORMATIF ATAU SUMATIF
·
YANG DIUKUR PERFORMANSI, BUKAN MENGINGAT FAKTA
·
BERKESINAMBUNGAN
·
TERINTEGRASI
·
DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI FEEDBACK
KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN BERBASIS CTL :
·
KERJA SAMA
·
SALING MENUNJANG
·
MENYENANGKAN, TIDAK MEMBOSANKAN
·
BELAJAR DENGAN BERGAIRAH
·
PEMBELAJARAN TERINTEGRASI
·
MENGGUNAKAN BERBAGAI SUMBER
·
SISWA AKTIF
·
SHARING DENGAN TEMAN
·
SISWA KRITIS GURU KREATIF
·
DINDING KELAS & LORONG-LORONG PENUH DENGAN HASIL KARYA SISWA,
PETA-PETA, GAMBAR, ARTIKEL, HUMOR DLL
·
LAPORAN KEPADA ORANG TUA BUKAN HANYA RAPOR, TETAPI HASIL KARYA SISWA,
LAPORAN HASIL PRAKTIKUM, KARANGAN SISWA DLL.
Sunday 5 July 2015
On 21:11 by Dr. SUKRIS SUTIYATNO, MM., M.Hum No comments
Manajemen Kepuasan Siswa
STMIK Bina Patria Magelang
A.
Kualitas sebagai
Ujung Tombak Kepuasan Siswa
Bagi
setiap institusi mutu adalah agenda utama dan meningkatkan mutu merupakan tugas
yang paling penting. Mutu merupakan suatu hal yang membedakan antara yang baik
dan yang sebaliknya. Bertolak dari kenyataan tersebut, mutu dalam pendidikan
akhirnya merupakan hal yang membedakan antara kesuksesan dan kegagalan.
Sehingga, mutu jelas sekali merupakan masalah pokok yang akan menjamin
perkembangan sekolah dan meningkatkan kepercayaan sekolah di mata masyarakat
dan menjadi ujung tombak untuk memenuhi
kepuasan siswa. Oleh karena itu, sekolah harus mampu menciptakan kultur mutu,
yang mendorong semua warga sekolahnya untuk berkontribusi terhadap kepuasan
siswa. Karena kepuasan siswa tidak terlepas dari mutu yang dimiliki oleh
sekolahnya yang mencakup kualitas gurunya, nyaman dan megah gedungnya, sarana
dan prasarana yang memadai, perpustakaan yang nyaman dengan koleksi buku yang
terbaru, lingkungan yang aman, nyaman dan tenang dan pelayanan yang responsif
terhadap siswanya sehingga membuat para siswa merasa nyaman dalam belajar.
Masalah
mutu produk, baik berupa barang dan jasa bagi perusahaan atau industri dan mutu
lulusan bagi lembaga pendidikan menjadi satu hal yang penting. Suatu produk dan
lulusan yang bermutu, memungkinkan para pengguna produk dan lulusan dari
lembaga pendidikan dapat memperoleh kepuasan. Jika pengguna puas, mereka akan
setia menggunakan produk dan lulusan lembaga pendidikan tersebut. Jika para
konsumen dari produk dan lulusan lembaga pendidikan semakin setia, suatu
perusahaan dan lembaga pendidikan akan memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif untuk eksis dan solid dalam berproduksi bagi perusahaan dan dalam
menyelenggarakan proses pendidikan bagi institus pendidikan (Abdul Hadis &
Nurhayati, 2010:86-87).
Menurut
Deming (1982:176) mutu ialah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen.
Perusahaan yang bermutu adalah perusahaan yang menguasai pangsa pasar karena
hasil produksinya sesuai dengan kebutuhan konsumen, sehingga menimbulkan
kepuasan bagi konsumen. Jika konsumen merasa puas, maka mereka akan setia dalam
membeli produk perusahaan tersebut baik berupa barang maupun jasa. Selaras
dengan pernyataan tersebut, SMK yang bermutu adalah apabila sekolah tersebut
mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja atau
dunia usaha dan dunia industri sehingga lulusan dari SMK terserap di pasar
tenaga kerja.
Menurut
Feigenbaum (1986:7) mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu
produk dianggap bermutu apabila dapat memberi kepuasan sepenuhnya pada
konsumen, yaitu sesuai dengan harapan konsumen atas produk yang dihasilkan oleh
perusahaan. Dalam konteks pendidikan, sekolah yang bermut apabila sekolah
tersebut mampu memberi kepuasan pada para siswanya sehingga dapat meningkatkan
prestasi hasil belajarnya.
Kepuasan
konsumen merupakan perasaan di mana produk yang telah sesuai atau melebihi
harapan konsumen. Menjaga kepuasan konsumen sangat penting untuk menjaga citra
suatu organisasi. Organisasi yang memiliki reputasi dalam memberikan kepuasan
yang tinggi kepada konsumen melakukan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan
kompetitornya. Manajemen puncak berkeinginan keras untuk dapat memenuhi
kepuasan konsumen dan seluruh karyawan memahami hubungan antara pekerjaan
mereka dan kepuasan konsumen (Lamb, Hair & McDaniel, 2001:13). Sementara itu, Kotler (1994:40)
menyatakan “Satisfaction is the level of
a person’s felt state resulting from comparing a product’s perceived
performance (or outcome) in relation to the person’s expectation.
Ekowati
(2008:5) kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul
setelah membandingkan kinerja (hasil) produk/jasa yang dipikirkan terhadap
kinerja (hasil) yang diharapkan. Fandi
Tiptono
(2004:23) kepuasan konsumen adalah evaluasi secara sadar atau penilaian
kognitif menyangkut apakah kinerja produk relatif bagus atau jelek atau apakah
produk bersangkutan cocok atau tidak dengan tujuan/pemakaiannya. Musnanto
(2004:125) kepuasan merupakan suatu tingkatan di mana kebutuhan, keinginan dan
harapan dari pelanggan dapat terpenuhi yang mengakibatkan terjadinya pembelian
ulang atau kesetiaan yang berlanjut. Konsumen yang puas akan membeli produk
lain yang dijual oleh institusi, sekaligus menjadi pemasar yang efektif melalui
word of mouth yang bernada positif.
Susanto
(2003:138) menyatakan bahwa kualitas adalah keseluruhan dari kelengkapan fitur
suatu produk atau jasa yang memiliki kemampuan untuk memberi kepuasan terhadap
suatu kebutuhan. Thio (2001:65) kualitas pelayanan biasanya merupakan alasan
keloyalan konsumen terhadap institusi. Lupiyadi & Hamdani (2006:182)
terdapat lima dimensi kualitas jasa meliputi: (a) Keandalan (reliability); (b) Berwujud (tangibles); (c) Daya tanggap (responsiveness); (d) keyakinan
(assurance), jaminan dan kepastian kemampuan para pegawai institu; dan (e)
Empati (emphaty).
Fandi Tjiptono dan Chandara (2007:121)
menyatakan kualitas jasa harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir
dengan kepuasan pelanggan serta persepsi positif terhadap kualitas pelayanan.
Menurut Thio (2001:67) Keuntungan yang diperoleh dengan adanya kualitas
pelayanan yaitu: (1) mempertahankan konsumen; (2) menghindari persaingan harga,
institusi yang mempunyai standar kualitas yang tinggi akan mempunyai posisi
persaingan yang kuat; (3) mempertahankan
karyawan yang berkualitas; dan (4) mengurangi biaya-biaya.
B. Siswa sebagai Pelanggan Utama
Sekolah
Dalam pengelolaan pendidikan siswa adalah pelanggan utama karena
yang secara langsung menerima jasa, pelanggan kedua yaitu orang tua,
masyarakat yang memanfaatkan output dari pendidikan (dunia usaha dan
dunia industri) dan
pemerintah. Mereka bias kita sebut sebagai pelanggan eksternal, sementara itu
pelanggan interal dari pendidikan adalah pengelola pendidikan, guru, dan staff
pendidikan (Sallis, 2006:67-71).
Karena siswa menjadi pelanggan utama eksternal, sekolah
harus memberi fokus
perhatian utama terhadap kebutuhan dan harapan siswa. Kebutuhan dan harapan
siswa dalam konteks pendidikan adalah mendapatkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk itu institusi pendidikan harus
mengutamakan mutu untuk dapat memberi kepuasan pada pelanggan (siswa), suatu
institusi pendidikan dikatakan bermutu apabila antara pelanggan internal dan
eksternal terjalin kepuasan atas jasa yang diberikan. Maksudnya, apabila pelanggan internal dalam hal ini
siswa merasa mendapatkan apa yang diharapkan (dalam konteks SMK) berupa keterampilan terpenuhi, dan
keterampilan tersebut dapat mengisi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan dunia
industri sebagai pelanggan eksternal.
Maka dari itu, untuk memposisikan institusi pendidikan sebagai
industri jasa, harus memenuhi standar mutu, dalam konsep Total Quality Management, harus memenuhi spesifikasi yang telah
ditetapkan. Secara operasional mutu ditentukan oleh dua faktor, yaitu terpenuhinya spesifikasi yang telah
ditentukan sebelumnya dan terpenuhinya spesifikasi yang diharapkan menurut
tuntutan dan kebutuhan pengguna jasa. Mutu yang pertama disebut quality in fact (mutu sesungguhnya) dan
yang kedua disebut quality in perception
(mutu persepsi). Dalam penyelenggaraannya, quality
in fact merupakan profil lulusan yang
diharapkan oleh institusi pendidikan yang sesuai dengan kualifikasi pendidikan
yang berbentuk standar kemampuan minimal yang dikuasai oleh peserta didik.
Sedangkan quality in perception
pendidikan adalah kepuasan dan
bertambahnya minat pelanggan eksternal terhadap lulusan institusi pendidikan
(Sallis, 2006:6-7).
Jaminan
mutu secara modern diartikan sebagai membangun sistem mutu modern yang
dicirikan oleh lima karkteristik, yaitu: (1) sistem mutu modern berorientasi
kepada konsumen; (2) sistem mutu modern dicirikan adannya partisipasi aktif
dalam proses peningkatan mutu secara kontinyu; (3) sistem mutu modern dicirikan
dengan adanya pemahaman dari setiap orang terhadap tanggung jawab yang spesifik
untuk mutu; (4) sistem mutu modern dicirikan oleh adany aktivitas yang
berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan, bukan berfokus pada mendeteksi
keruskan saja; dan (5) sistem mutu modern dicirikan oleh adanya filosofi yang
dianggap bahwa mutu merupakan suatu jalan hidup (Nasution, 2005:8-9). Sistem
mutu modern tersebut dibagi ke dalam tiga bagian utama, yaitu: (1) mutu design;
(2) mutu konformans yang mengacu pada
pembutan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan dalam
mutu design; dan (3) mutu pemasaran dan pelayanan purna jual yang berkaitan
dengan sejauh mana penggunaan produk memenuhi ketentuan dasar tentang pemasaran,
pemeliharaan produk, dan pelayanan purna jual (Gasperz, 2004:97).
Faktor
kepuasan guru, siswa, staf sekolah, kepala sekolah, orang tua siswa,
masyarakat, dunia kerja dan pemerintah serta stakeholders lainnya sebagai pelanggan pendidikan, merupakan
barometer bagi pendidikan bermutu. Pendidikan yang bermutu di institusi
pendidikan lahir dari layanan supervisi pengajaran yang bermutu pula. Supervisi
oleh kepala sekolah kepada guru bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme
guru dan kinerja profesional guru serta menindaklanjuti hasil evaluasi proses
dan hasil pembelajaran untuk peningkatan mutu pembelajaran dan dapat
meningkatkan kepuasan siswa (Abdul Hadis & Nurhayati, 2010:81).
Berdasarkan
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk dapat memenuhi kepuasa siswa,
maka SMK harus dapat memenuhi harapan siswa yang mencakup kualitas proses
belajar mengajar, kualitas guru, lingkungan sekolah yang aman dan nyaman,
pelayanan yang responsif, sarana dan prasarana yang terkini dan modern. Semua
difokuskan untuk memenuhi dan meningkatkan kepuasan siswa sehingga dapat
mendorong terciptannya kulitas akademik dan dapat menghasilkan lulusan yang
juga dapat memenuhi spesifikasi dan standar kualitas yang diharapkan pasar
tenaga kerja dan dunia usaha dan dunia industry
C.
Model
Pengelolaan Kepuasan Siswa
Bagi
setiap institusi mutu adalah agenda utama dan meningkatkan mutu merupakan tugas
yang paling penting termasuk di dalamnya institusi pendidikan SMK. Mutu
merupakan suatu hal yang membedakan antara yang baik dan yang sebaliknya.
Bertolak dari kenyataan tersebut, mutu dalam pendidikan akhirnya merupakan hal
yang membedakan antara kesuksesan dan kegagalan dalam mengelola layanan
akademik utamannya pembelajaran. Sehingga, mutu jelas sekali merupakan masalah
pokok yang akan menjamin perkembangan sekolah dan meningkatkan kepercayaan
sekolah di mata masyarakat. Oleh karena itu, sekolah harus mampu menciptakan
kultur mutu, yang mendorong semua warga sekolahnya untuk berkontribusi terhadap
kepuasan siswa. Karena kepuasan siswa tidak terlepas dari mutu yang dimiliki
oleh sekolahnya yang mencakup kualitas gurunya, nyaman dan megah gedungnya,
sarana dan prasarana yang memadai, perpustakaan yang nyaman dengan koleksi buku
yang terbaru, lingkungan yang aman, nyaman dan tenang dan pelayanan yang
responsif terhadap siswanya sehingga membuat para siswa merasa nyaman dalam
belajar.
Masalah
mutu produk, baik berupa barang dan jasa bagi perusahaan atau industri dan mutu
lulusan bagi lembaga pendidikan menjadi satu hal yang penting. Suatu produk dan
lulusan yang bermutu, memungkinkan para pengguna produk dan lulusan dari
lembaga pendidikan dapat memperoleh kepuasan. Jika pengguna puas, mereka akan
setia menggunakan produk dan lulusan lembaga pendidikan tersebut. Jika para
konsumen dari produk dan lulusan lembaga pendidikan semakin setia, suatu
perusahaan dan lembaga pendidikan akan memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif untuk eksis dan solid dalam berproduksi bagi perusahaan dan dalam
menyelenggarakan proses pendidikan bagi institusi pendidikan (Abdul Hadis &
Nurhayati, 2010:86-87).
Deming
(1982:176) menyatakan bahwa mutu ialah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau
konsumen. Perusahaan yang bermutu adalah perusahaan yang menguasai pangsa pasar
karena hasil produksinya sesuai dengan kebutuhan konsumen, sehingga menimbulkan
kepuasan bagi konsumen. Jika konsumen merasa puas, maka mereka akan setia dalam
membeli produk perusahaan tersebut baik berupa barang maupun jasa. Selaras
dengan pernyataan tersebut, SMK yang bermutu adalah apabila sekolah tersebut
mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja atau
dunia usaha dan dunia industri sehingga lulusan dari SMK terserap di pasar
tenaga kerja.
Feigenbaum
(1986:7) menyatakan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu
produk dianggap bermutu apabila dapat memberi kepuasan sepenuhnya pada
konsumen, yaitu sesuai dengan harapan konsumen atas produk yang dihasilkan oleh
perusahaan. Dalam konteks pendidikan, sekolah yang bermutu apabila sekolah
tersebut mampu memberi kepuasan pada para siswanya berupa layanan prima dalam
pembelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi hasil belajarnya.
Kepuasan
konsumen merupakan perasaan di mana produk yang telah sesuai atau melebihi
harapan konsumen. Menjaga kepuasan konsumen sangat penting untuk menjaga citra
suatu organisasi dalam hal ini persepsi positif masyarakat terhadap kualitas
SMK. Organisasi yang memiliki reputasi dalam memberikan kepuasan yang tinggi
kepada konsumen melakukan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan
kompetitornya. Manajemen organisasi berkeinginan keras untuk dapat memenuhi
kepuasan konsumen dan seluruh karyawan memahami hubungan antara pekerjaan
mereka dan kepuasan konsumen (Lamb, Hair & McDaniel, 2001:13). Sementara itu, Kotler (1994:40)
menyatakan “Satisfaction is the level of
a person’s felt state resulting from comparing a product’s perceived
performance (or outcome) in relation to the person’s expectation.
Ekowati
(2008:5) kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul
setelah membandingkan kinerja (hasil) produk/jasa yang dipikirkan terhadap
kinerja (hasil) yang diharapkan. Fandi
Tjiptono
(2004:23) menyatakan kepuasan konsumen adalah evaluasi secara sadar atau
penilaian kognitif menyangkut apakah kinerja produk relatif bagus atau jelek
atau apakah produk bersangkutan cocok atau tidak dengan tujuan/pemakaiannya.
Musnanto (2004:125) kepuasan merupakan suatu tingkatan di mana kebutuhan,
keinginan dan harapan dari pelanggan dapat terpenuhi yang mengakibatkan
terjadinya pembelian ulang atau kesetiaan yang berlanjut. Konsumen yang puas
akan membeli produk lain yang dijual oleh institusi, sekaligus menjadi pemasar
yang efektif melalui word of mouth
yang bernada positif.
Susanto
(2003:138) menyatakan bahwa kualitas adalah keseluruhan dari kelengkapan fitur
suatu produk atau jasa yang memiliki kemampuan untuk memberi kepuasan terhadap
suatu kebutuhan. Thio (2001:65) kualitas pelayanan biasanya merupakan alasan
keloyalan konsumen terhadap institusi. Lupiyadi & Hamdani (2006:182)
terdapat lima dimensi kualitas jasa meliputi: (a) Keandalan (reliability); (b) Berwujud (tangibles); (c) Daya tanggap (responsiveness); (d) keyakinan
(assurance), jaminan dan kepastian kemampuan para pegawai institusi; dan (e)
Empati (emphaty).
Fandi Tjiptono dan Chandara (2007:121)
menyatakan bahwa kualitas jasa harus
dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir dengan kepuasan pelanggan serta
persepsi positif terhadap kualitas pelayanan. Menurut Thio (2001:67) Keuntungan
yang diperoleh dengan adanya kualitas pelayanan yaitu: (1) mempertahankan
konsumen; (2) menghindari persaingan harga, institusi yang mempunyai standar
kualitas yang tinggi akan mempunyai posisi persaingan yang kuat; (3) mempertahankan karyawan yang berkualitas;
dan (4) mengurangi biaya-biaya. Oleh karena itu, SMK harus membangun kepuasan
sisa dimulai ketika para siswa mendaftar mereka merasakan kebutuhan
keterampilan, pada waktu proses pendidikan merasakan kenyamanan dalam
pembelajaran dan pada waktu lulus menguasai kompetensi yang sesuai dengan
kebutuhan dunia usaha dan dunia industri serta pasar tenaga kerja.
Jaminan
mutu secara modern diartikan sebagai membangun sistem mutu modern yang
dicirikan oleh lima karkteristik, yaitu: (1) sistem mutu modern berorientasi
kepada konsumen; (2) sistem mutu modern dicirikan adannya partisipasi aktif
dalam proses peningkatan mutu secara kontinyu; (3) sistem mutu modern dicirikan
dengan adanya pemahaman dari setiap orang terhadap tanggung jawab yang spesifik
untuk mutu; (4) sistem mutu modern dicirikan oleh adanya aktivitas yang
berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan, bukan berfokus pada mendeteksi
keruskan saja; dan (5) sistem mutu modern dicirikan oleh adanya filosofi yang
dianggap bahwa mutu merupakan suatu jalan hidup (Nasution, 2005:8-9). Sistem
mutu modern tersebut dibagi ke dalam tiga bagian utama, yaitu: (1) mutu design;
(2) mutu konformans yang mengacu pada
pembuatan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan dalam
mutu design; dan (3) mutu pemasaran dan pelayanan purna jual yang berkaitan
dengan sejauh mana penggunaan produk memenuhi ketentuan dasar tentang
pemasaran, pemeliharaan produk, dan pelayanan purna jual (Gasperz, 2004:97).
Faktor
kepuasan guru, siswa, staf sekolah, kepala sekolah, orang tua siswa,
masyarakat, dunia kerja dan pemerintah serta stakeholders lainnya sebagai pelanggan pendidikan, merupakan
barometer bagi pendidikan bermutu. Pendidikan yang bermutu di institusi
pendidikan lahir dari layanan supervisi pengajaran yang bermutu pula. Supervisi
oleh kepala sekolah kepada guru bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme
guru dan kinerja profesional guru serta menindaklanjuti hasil evaluasi proses
dan hasil pembelajaran untuk peningkatan mutu pembelajaran dan dapat meningkatkan
kepuasan siswa (Abdul Hadis & Nurhayati, 2010:81).
SMK
sebagai institusi pendidikan harus menempatkan dirinya sebagai institusi
jasa/industri jasa yakni institusi yang memberikan pelayanan (service)
pembelajaran sesuai dengan apa yang diinginkan dan diharapakan siswa. Layanan
pembelajaran yang diharapkan siswa tentu saja yang sesuai dengan kebutuhan
kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Kualitas lulusan
SMK yang mencerminkan kepuasan siswa
terwujud apabila siswa telah mempunyai kompetensi yang sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan
dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang mencakup: (1) sikap yaitu memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak
mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai
cerminan bangsa dalam pergaulan dunia, (2) pengetahuan yaitu memiliki
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena
dan kejadian, dan (3) keterampilan yaitu memiliki pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan kejadian.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka kepala
sekolah dalam mengimplementasikan kepemimpinan pembelajaran harus menyadari
bahwa siswa adalah pelanggan utama suatu sekolah. Pengelolaan pelayanan kepada
siswa harus menjadi prioritas utama sehingga siswa merasa nyaman dalam belajar
dan mendapatkan apa yang mereka harapkan atau mendapatkan kepuasan pelayanan
belajar dari sekolahnya.
Strategi pengelolaan kepuasan yang dimaksud
berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas di atas tidak terlepas dari
variabel-variabel lain yaitu; kinerja guru, komunikasi organisasi dan budaya
sekolah. Jadi, kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran perlu melakukan
langkah-langkah yang progresif dan konstruktif untuk mengembangkan dan
memberdayakan ketiga variabel di atas untuk mengelola kepuasan siswa, yaitu:
1. Mengembangkan
dan memberdayakan kinerja guru yang mencakup dimensi pedagogik, professional,
kepribadian dan sosial
2. Membangun
komunikasi organisasi untuk mengkomunikasikan visi dan misi sekolah serta
menyelaraskan pemangku kepentingan sekolah yaitu: guru , siswa, masyarakat
(orang tua, instansi terkait dan dunia usaha dan dunia industry)
3. Menciptakan
budaya sekolah yang berlandaskan pada nilai-nilai, norma, keyakinan, tradisi
dan peraturan yang dapat menopang terciptanya iklim
akademik yang kondusif
Ketiga variabel tersebut di atas harus dikembangkan
dan diberdayakan secara terus menerus kualitas pelayanannya (quality continous improvement and
empowernment) sehingga siswa sebagai pelanggan utama sekolah merasa puas.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikembangkan model pengelolaan kepuasan siswa yang
digambarkan sebagai berikut:
Gambar
: Model Pengelolaan Kepuasan Siswa
A.
Pengaruh
Kepemimpinan Pembelajaran Terhadap Kinerja, Guru Komunikasi Organisasi, Budaya
Sekolah dan Kepuasan Siswa
1. Pengaruh Kepemimpinan Pembelajaran terhadap
Kinerja Guru
Hasil penelitian
menunjukan peran penting kepala sekolah dalam pengelolaan sumber daya
sekolah yang berfokus pada kinerja guru. Kepala sekolah sebagai pemimpinan
pembelajaran dapat menggerakkan sumber
daya sekolah mencapai berbagai tujuan pendidikan, di mana salah satu jalannya
melalui optimalisasi dan pemberdayaan kinerja guru.
Kepala sekolah
mengarahkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) untuk selalu komit dan fokus pada
perbaikan kualitas pembelajaran dalam rangka meningkatkan layanan prima di
bidang pembelajaran kepada siswa. Oleh karena itu, kepala sekolah harus
memperhatikan kompetensi dan pengetahuan guru secara terus menerus, mendorong
dan memfasilitasi untuk terjadinya perbaikan dan peningkatan. Melalui proses
ini kegiatan belajar mengajar diharapkan dapat berjalan secara efektif dan
efisien dan pada akahirnya dapat meningkatkan kepuasan siswa dan prestasi
belajar siswa.
Kepala sekolah
dalam perencanaan PBM,
mengarahkan dan membimbing para guru dalam mengidentifikasi kebutuhan, minat,
bakat dan kemampuan siswa, menyusun tujuan pelajaran, mengembangkan silabus,
mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran, memilih bahan ajar dan memilih
metode mengajar yang cocok dengan kondisi siswa. Dalam pelaksanaan pembelajaran, membimbing guru dan memfasilitasi guru
dalam mengembangkan dan menggunakan berbagai metode mengajar. Dalam evaluasi pembelajaran,
membimbing guru dalam menyusun alat tes, menganalisis hasil tes, menentukan
ketuntasan hasil belajar, dan menilai efektivitas pembelajaran. Demikian pula
dalam manajemen kelas,
mengarahkan dan membimbing para guru dalam mengelola siswa, mengelola perlatan
dan laboratorium. Di samping dikembangkan kinerjanya, kepala sekolah juga
mengevaluasi kinerja guru.
Hasil penelitian
ini selaras dengan teori dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Blase & Blase
(1999)
Model of effective instructional leadership was derived
directly from the data; it consists of the two major themes: talking with
teachers to promote refelection and promoting professional growth and effective principals are expected to be
effective instructional leaders, the principal must be knowledgable about
curriculum development, teachers and instructional effectiveness, clinical
supervision, staff development, and teacher evaluation.
Berdasarkan pendapat Blasé & Blasé dapat
diartikan bahwa kepemimpinan pembelajaran yang efektif berasal dari dua tema
yaitu: berdiskusi dengan para guru untuk meningkatkan refleksi dan meningkatkan
kinerja secara professional. Demikian pula kepa sekolah yang efektif diharapkan
dapat menjadi pemimpin pembelajaran yang efektif oleh karena itu kepala sekolah
seharusnya memahami perkembangan kurikulum dan guru, efektivitas pembelajaran,
supervisi, pengembangan staff dan evaluasi kinerja guru.
Petterson
(1993) kepala sekolah memberi dukungan terhadap pembelajaran, misalnya
mendukung bahwa pengajaran yang memfokuskan pada kepentingan belajar siswa
harus menjadi prioritas, Daresh dan Playco (1995) kepemimpianan pembelajaran
sebagai upaya memimpin para guru agar mengajar lebih baik, yang pada gilirannya
dapat memperbaiki prestasi siswa.
Cosner &
Peterson (2003) “...promoting teachers
professional development is the most influential educational leadership
behavior,
(May Jo, 2007) memfokuskan sebagian besar
waktunya untuk meningkatkan mutu guru dan pemanfaatannya secara optimal dalam
pembelajaran, Findley (1992) if a school
is to be an effective one, it will be because of the instructional leadership
of the principal…, Anwar & Amir
(2000) dalam Daryanto (2011:30) kepala sekolah memiliki tugas mengembangkan
kinerja personnel, terutama meningkatkan professional guru. (Hopkins, 2000)
menyatakan Instructional leaders are able
to create synergy between a focus on teaching and learning on the one hand, and
capacity building on the other. Jadi, kepala sekolah sebagai pemimpin
pembelajaran mampu menciptakan sinergi
antara fokus pada pengajaran dan pembelajaran di satu sisi dan kapasitas
pembentukan kualitas proses belajar mengajar pada sisi lain.
Halverson, et al
(2005:6) menyatakan “...The definition of instructional
leadership has been expanded to towards deeper involvement in the core business
of schooling which is teaching and learning. Attention has shifted from
teaching to learning.” Definisi kepemimpinan pembelajaran
telah diperluas keterlibatan lebih mendalam dalam kegiataan inti sekolah yaitu
pengajaran dan pembelajaran, perhatian telah bergeser dari pengajaran ke
pembelajaran. Sementara itu, Robinson
(2011:82) menyatakan “Instructional
leadership is performed by all teachers who have some responsibility, beyond
their own classroom, for the quality of learning and teaching. Artinya, kepemimpinan pembelajaran ditunjukkan oleh semua guru
yang mempunyai tanggung jawab terhadap kualitas pembelajaran
dan pengajaran.
2. Pengaruh
Kepemipinan Pembelajaran terhadap Komunikasi Organisasi
Temuan pengaruh positif kepemimpinan pembelajaran terhadap
komunikasi organisasi menginterpretasikan kepemimpinan pembelajaran memberi
kontribusi sangat kuat terhadap komunikasi organisasi. dengan kontribusi sebesar 0,529² atau 27,98 %. Hasil
tersebut menunjukan peran penting kepala sekolah membangun kesepahaman pemangku
di sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran
mempunyai peran dan fungsi dalam mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan visi
misi, program, peraturan dan kebijakan-kebijakan kepada guru, siswa, orang tua,
instansi terkait dan membangun kerjasama dengan masyarakat (dunia usaha dan
dunia industri). Kemampuan kepala sekolah dalam berkomunikasi dimaksudkan agar
hal-hal tersebut di atas dapat difahami dan diterima serta dilaksanakan
sebaik-baiknya sehingga dapat mendukung kegiatan pembelajaran yang kondusif.
Temuan penelitian ini selaras dan relevan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Pashiardis,
et al (2011:544) menyatakan “The strong
interpersonal relationships among the principal and the teachers as well as the
principal’s approachable personality effectively created a strong culture of
cooperation in the school”. Artinya, hubungan (komunikasi) antar personal yang kuat antara
kepala sekolah dan para guru demikian pula pendekatan pribadi kepala sekolah mampu
menciptakan budaya kuat kerjasama di sekolah.
Pada sisi yang lain, Rapp
(2011:471) menyatakan “...successful
superintendents will be those who have excellent communication skills, understand the
instructional process, and work to create coalition that will ensure the
financial and
educational suvival of the public systems.” Artinya, kepala sekolah yang berhasil adalah mereka yang
memiliki keterampilan komunikasi sangat baik, dan bekerja untuk menciptakan hubungan yang akan memastikan keberlangsungan hidup pendidikan
dan keuangan sistem publik. Sementara itu, Mulyasa (2009:187) menyatakan kepala sekolah senantiasa
dituntut untuk berusaha membina dan mengembangkan komunikasi dan hubungan kerja sama baik antara
sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien.
Riesenmy (2008:63) menyatakan
bahwa:
Visionary leadership have the ability
to clearly communicate the organizational vision. These leadership have personal characteristics that create follower
self-confidence and trust. They empower their follower by creating an
organizational culture that is caring and drives high performance.
Artinya, kepemimpinan visoner mempunyai kemampuan
untuk mengkomunikasikan visi organisasinya dengan jelas. Kepemimpinan tersebut
mempunyai karakter pribadi yang dapat menciptakan pengikutnya percaya diri.
Mereka memberdayakan pengikutnya dengan menciptakan budaya organisasi yang
memperhatikan dan mendorong kinerja
tinggi.
Kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu
kompetensi yang harus dimiliki dan dikuasai oleh kepala sekolah. Berbekal
kemampuan melakukan komunikasi yang efektif dengan guru, orang tua, siswa dan
masyarakat, dia akan lebih mudah dan berhasil dalam melaksanakan peran dan
fungsinya sebagai pemimpin sekolah.
Berdasarkan hasil pembahasan pengaruh kepemimpinan
pembelajaran terhadap komunikasi organisasi tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa hasil penelitian ini terbukti secara empiris dan memperkuat teori-teori
dan penelitian yang relevan yang digunakan dalam penelitian ini. Alasannya,
kepala sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin
pembelajaran memang tidak terlepas dari komunikasi organisasi baik secara
internal maupun eksternal. Oleh karena itu, penting bagi kepala sekolah selalu
membangun komunikasi organisasi yang konstruktif. Kesesuain antara bangunan
teori dan penelitian yang relevan dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa
teori-teori yang dibangun dan didukung penelitian yang relevan secara empiris
terbukti dan memperkuat hasil penelitian.
3.
Pengaruh
Kepemimpinan Pembelajaran terhadap Budaya Sekolah
Temuan kepemimpinan pembelajaran berpengaruh positif terhadap
budaya sekolah sebesar 0,541 . Hasil
tersebut menunjukkan kepemimpinan pembelajaran memberi kontribusi kuat terhadap
budaya sekolah dengan besar kontribusi sebesar 0,541² atau 29,7% dan merupakan
fakta yang menegaskan bahwa kesuksesan pembangunan budaya sekolah tidak
terlepas dari peran kepala sekolah. Kepala Sekolah melalui kewenangannya dapat
mendorong kondisi yang mendukung pembangunan budaya sekolah, seperti menanamkan
kebiasaan positif, nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma yang dapat mendukung
terciptanya suasana proses belajar mengajar yang kondusif dan progresif. Dalam
praktiknya kepala sekolah menciptakan iklim akademik yang dibangun dengan
membuat kebijakan-kebijakan dan program-program sekolah untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas hasil belajar siswanya, mengembangkan dan memelihara
lingkungan agar selalu disiplin dalam belajar, tertib, aman dan nyaman untuk
belajar, membangun dan memelihara rasa kekeluargaan yang kuat, menghargai dan
menghormati perbedaan-perbedaan yang muncul baik etnis, sosial, ekonomi dan agama
serta membangun nilai-nilai solidaritas di sekolahnya.
Hasil (temuan) penelitian ini selaras dengan teori
dan penelitian yang dilakukan oleh
(Squires & Kranyik, 1996) menemukan “A positive
school culture may have a significant influence on the academic and social success of the students within schools.”
Artinya budaya sekolah yang positif akan berpengaruh
terhadap prestasi akademik dan keberhasilan sosial para siswa di dalam
sekolah”.
(Becker & Becker, 1992) When
a school exhibits characteristics of positive culture, there are fewer
suspensions, increased attendance rates, and increased achievement of
standardized test scores. Artinya bilamana sekolah
menunjukkan karakteristik budaya sekolah yang positif, dapat meningkatkan
rata-rata kehadiran, dan peningkatan prestasi standar nilai tes. (Ross,2007)
menyatakan “Working collaboratively with school leadership and
teachers to strenghten the culture of the school , with the intent of improving
teaching practice and students learning, is
a promising school reform strategy“). Artinya, kerjasama antara kepemimpinan sekolah dan para guru
untuk memperkuat budaya sekolah, dengan tujuan memperbaiki praktek pengajaran dan pembelajaran para siswa adalah merupakan strategi
reformasi sekolah.
Hoy & Hoy
(2003:2) menyatakan “The principal,
however, is responsible for developing a school climate that is conducive to
providing the very best practice instructional practices”. Artinya,
kepala sekolah bagaimanapun seharusnya bertanggung jawab mengembangkan iklim sekolah yang
kondusif untuk menyediakan praktik terbaik
pembelajaran. (Fink & Resnick, 2011:7) As
Instructional leaders, principal has to lead—by creating a culture of learning
by providing the right kinds of specialized professional development
opportunities when they are needed . Sebagai
pemimpin pembelajaran seorang kepala sekolah harus mampu menciptakan kultur
pembelajaran dengan menyediakan kesempatan pengembangan profesional secara
khusus ketika hal tersebut diperlukan.
Veithzal & Deddy (2010:256) menyatakan budaya
organisasi adalah apa yang karyawan rasakan dan bagaimana persepsi ini
menciptakan suatu pola teladan kepercayaan, nilai-nilai, dan harapan. Aas
Hasanah (2008:12) menyatakan Budaya sekolah dapat digambarkan melalui sikap
saling mendukung (supportive),
tingkat persahabatan (colegial),
tingkat keakrapan (intimate) serta
kerja sama (cooperative).
Riduan (2009:19) menyatakan budaya sekolah merupakan
salah satu ciri dari sekolah efektif. Dengan adannya kondisi budaya sekolah
yang kondusif akan memberikan dampak positif
bagi siswa untuk belajar. Peterson (2002:23) suggests that culture is built within
a school over time as teachers, school leaders, parents and students work
together. Berdarakan
pernyataan Peterson tersebut dapat dijelaskan bahwa budaya sekolah yang dibangun dalam sekolah dapat mendorong kerjasama antara
guru, pemimpin sekolah, orang tua dan para siswa.
Hoy & Miskel (2008:198) menyatakan “...A common definition of school climate is “the set of internal
characteristics that distinguish one school from another and influence the
behavior of each school’s members”. Artinya, secara umum iklim sekolah/budaya sekolah merupakan seperangkat karakteristik internal yang
membedakan satu sekolahan dengan sekolah lainnya dan mempengaruhi perilaku setiap
anggota sekolah.
Berdasarkan hasil pembahasan pengaruh kepemimpinan
pembelajaran terhadap budaya sekolah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
hasil penelitian ini memperkuat teori-teori dan penelitian relevan yang
digunakan dalam penelitian ini seacara empiris terbukti. Alasannya, karena
setiap kepala sekolah harus mampu membangun budaya sekolah yang dapat mendorong
peningkatan kualitas pembelajaran. Penting bagi kepala sekolah menanamkan
nilai-nilai, norma, keyakinan, tradisi, peraturan dan iklim organisasi kepada
seluruh warga sekolah harus serta menjadi perhatian kepala sekolah dalam
melaksankan fungsinya sebagai pemimpin pembelajaran. Hasil penelitian ini
menjelaskan teori-teori yang dibangun dan didukung penelitian yang relevan
secara empiris terbukti.
4.
Pengaruh
Kepemimpinan Pembelajaran terhadap Kepuasan Siswa
Temuan kepemimpinan pembelajaran berpengaruh positif
terhadap kepuasan siswa secara langsung dengan kontribusi sebesar 0,291, angka
ini menjelaskan kontribusi sebesar 8,47 %.
Hasil tersebut mengartikan bahwa kepemimpinan pembelajaran akan memberi
dampak nyata pada kepuasan siswa. Oleh karenanya penting untuk melayani guna
pemenuhan kebutuhan dan harapan siswa dengan prima sehingga siswa akan merasa puas. Kepuasan
siswa dapat tercapai apabila siswa merasa apa yang diterimanya sama atau
melebihi dari yang mereka harapkan. Hal-hal yang dilakukan kepala sekolah agar
siswanya merasa puas adalah menyediakan guru yang berkualitas, sarana prasarana
yang memadai, laboratorium yang modern, perpustakaan yang nyaman dan lengkap,
ruang kelas yang bersih dan nyaman,
serta lingkungan sekolah yang tenang dan nyaman untuk belajar dan
layanan prima kepada siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi siswa. Agar
supaya siswa merasakan kepuasan di sekolahnya, kepala sekolah bersama guru dan
karyawan untuk memberikan layanan pembelajaran yang berkualitas kepada siswa
karena siswa merupakan pelanggan utama sekolah yang harus menjadi fokus
perhatian.
Hasil penelitian ini selaras dengan teori dan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Deming
(1982:176) mutu ialah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Menurut
Feigenbaum (1986:7) mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu
produk dan lulusan yang bermutu, memungkinkan para pengguna produk dan lulusan
dari lembaga pendidikan dapat memperoleh kepuasan, kepuasan yang dimaksud
tercapai apabila siswa mempunyai kompetensi yang sesuai dengan standar
kompetensi lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan yang
sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja sehingga mereka akan siap terjun ke
lapangan kerja atau berwirausaha ketika mereka lulus. Jika pengguna puas,
mereka akan setia menggunakan produk dan lulusan lembaga pendidikan tersebut
(Abdul Hadis & Nurhayati, 2010:86-87). Kotler (1994:40) menyatakan “Satisfaction is the level of a person’s felt
state resulting from comparing a product’s perceived performance (or outcome)
in relation to the person’s expectation. Ekowati (2008:5) kepuasan adalah
perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan kinerja
(hasil) produk/jasa yang dipikirkan terhadap kinerja (hasil) yang diharapkan. Fandi Tiptono (2004:23) kepuasan konsumen
adalah evaluasi secara sadar atau penilaian kognitif menyangkut apakah kinerja
produk relatif bagus atau jelek atau apakah produk bersangkutan cocok atau
tidak dengan tujuan/pemakaiannya. Musnanto (2004:125) kepuasan merupakan suatu
tingkatan di mana kebutuhan, keinginan dan harapan dari pelanggan dapat
terpenuhi yang mengakibatkan terjadinya pembelian ulang atau kesetiaan yang
berlanjut. Fandi Tjiptono
dan Chandra (2007:121) menyatakan kualitas jasa harus dimulai dari kebutuhan
pelanggan dan berakhir dengan kepuasan pelanggan serta persepsi positif
terhadap kualitas pelayanan.
Berdasarkan hasil pembahasan pengaruh kepemimpinan
pembelajaran terhadap kepuasan siswa tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
hasil penelitian ini memperkuat teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini
(Bab 2). Kepuasan siswa dapat tercapai
apabila apa yang mereka harapkan dapat terpenuhi oleh sekolah. Kepuasan yang
dimaksud berupa kualitas guru, lancarnya komunikasi, budaya sekolah yang mampu
mendukung terciptanya kualitas pembelajaran dan sarana prasarana yang memadai.
Hasil penelitian ini menjelaskan teori-teori yang dibangun dan didukung
penelitian yang relevan secara empiris terbukti.
B.
Model Pengelolaan Kepuasan Siswa
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka kepala
sekolah dalam mengimplementasikan kepemimpinan pembelajaran harus menyadari
bahwa siswa adalah pelanggan utama suatu sekolah. Pengelolaan pelayanan kepada
siswa harus menjadi prioritas utama sehingga siswa merasa nyaman dalam belajar
dan mendapatkan apa yang mereka harapkan atau mendapatkan kepuasan pelayanan
belajar dari sekolahnya.
Strategi pengelolaan kepuasan yang dimaksud
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Sukris 2014 ditemukan bahwa
terpenuhinya kepuasan siswa tidak
terlepas dari yaitu; kepemimpinan pembelajaran, kinerja guru, komunikasi
organisasi dan budaya sekolah. Jadi, kepala sekolah sebagai pemimpin
pembelajaran perlu melakukan langkah-langkah yang progresif dan konstruktif
untuk mengembangkan dan memberdayakan ketiga variabel di atas untuk mengelola
kepuasan siswa, yaitu:
1. Mengembangkan
dan memberdayakan kinerja guru yang mencakup dimensi pedagogik, professional,
kepribadian dan sosial
2. Membangun
komunikasi organisasi untuk mengkomunikasikan visi dan misi sekolah serta
menyelaraskan pemangku kepentingan sekolah yaitu: guru , siswa, masyarakat
(orang tua, instansi terkait dan dunia usaha dan dunia industry)
3. Menciptakan
budaya sekolah yang berlandaskan pada nilai-nilai, norma, keyakinan, tradisi
dan peraturan yang dapat menopang terciptanya iklim
akademik yang kondusif
Ketiga variabel tersebut di atas harus dikembangkan
dan diberdayakan secara terus menerus kualitas pelayanannya (quality continous improvement and
empowernment) sehingga siswa sebagai pelanggan utama sekolah merasa puas.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikembangkan model pengelolaan kepuasan siswa yang
digambarkan sebagai berikut:
Gambar
: Model Pengelolaan Kepuasan Siswa
F. Kajian Penelitian yang Relevan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Pramudia (2012) tentang kepemimpinan pembelajaran ditemukan bahwa kepemimpinan
pembelajaran berpengaruh terhadap prestasi siswa dan kepemimpinan pembelajaran
mempunyai peran dalam menciptakan kondisi dan lingkungan sekolah yang mendorong
pencapaian prestasi siswa. Penelitian tersebut dilaksanakan di SMA Indramayu.
Demikian pula penelitian yang dilakukan Erlika (2014) tentang peran kepala
sekolah sebagai pemimpin pembelajaran yang berpengaruh terhadap peningkatan
hasil belajar di SMA Negeri di Jombang.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thomas & Wahyu (2007) menyatakan bahwa
kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh terhadap kepuasan atas komitmen
organisasi, kualitas kehidupan kerja dan prilaku ekstra peran di SMU di Kota
Surabaya. Penelitian yang dilakukan oleh (Muhyi, Dantes & Lasmawan, 2013)
menghasilkan supervisi pembelajaran berpengaruh terhadap kepemimpinan kepala
sekolah, kompetensi guru terhadap kinerja mengajar guru di Kecamatan Aikmel.
Penelitian kepemimpinan terhadap kepuasan siswa dan
dampaknya terhadap prestasi belajar siswa SMK di Kota Tasik Malaya. Teknik pengumpulan
data menggunakan angket dan pengujian hipotesis dilakukan dengan analisis jalur
(path analysis). Hasil peneltian yang dilakukan oleh sudarmadi (2007)
menyatakan bahwa budaya organisasi dan gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap
kepuasan kerja dan kinerja karyawan.
Penelitian yang menghasilkan bahwa gaya
kepemimpinan berpengaruh terhadap
motivasi berprestasi dan prestasi belajar siswa SMA Negeri di Bali. Populasi
penelitian ini adalah SMA Negeri di Bali dengan sampel sebanyak 297 orang siswa
kelas II sebagai subjek penelitian (Niketut Suarni, 2006).
Pengaruh kepemimpinan pembelajaran (instructional leadership) terhadap
peningkatan hasil belajar siswa sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejumlah ahli
pendidikan telah melakukan penelitian tentang pengaruh kepemimpinan
pembelajaran terhadap peningkatan hasil belajar, mereka menyimpulkan bahwa: “If our schools are to improve, we must
redefine the principal’s role and move instructional leadership to the
forefront (Bufie, 1989). If a school
is to be an effective one, it will because of the instructional leadership of
the principal…(Findley, 1992) dan “Effective
principals are expected to be effective instructional leaders….the principal
must be knowledgable about curriculum development, teachers and instructional
effectiveness, clinical supervision, staff development, and teacher evaluation (Hanny,
1987). Berdasarkan temuan hasil
penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan hasil belajar siswa
sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan pembelajaran. Artinya, jika hasil belajar
siswa ingin ditingkatkan, maka kepemimpinan yang menekankan pada pembelajaran
harus diterapkan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
James (1985) bahwa seorang kepala sekolah dan sekolah yang berhasil menunjukkan adanya:
(1) keterkaitan
terhadap perbaikan pengajaran,
(2) pengetahuan dari/dan partisipasi yang kuat di dalam aktivitas kelas, (3)
pemantauan terhadap penggunaan efektivitas waktu pelajaran, (4) usaha membantu
efektivitas program tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelajaran, dan (5)
memiliki sikap positif
ke arah para guru, pustakawan, laboran,
tenaga administrasi dan para siswa.
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Cotton (1995) diperoleh hasil bahwa perilaku
kepala sekolah (pemimpin
pembelajaran), guru, dan staff memberikan kontribusi yang sangat signifikan
terhadap peningkatan efektivitas pembelajaran di sekolah.
Hasil penelitian Blase & Blase (1999) “...model of effective instructional leadership
was derived directly from the data; it consists of the two major themes:
talking with teachers to promote refelection and promoting professional growth.” Artinya, model kepemimpinan pembelajaran yang efektif secara langsung berasal dari
dua tema penting yaitu berbicara dengan para guru untuk meningkatkan releksi
dan meningkatkan perkembangan yang profesional.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Stronge (1988) menunjukkan
bahwa dari seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh sekolah, hanya 10
persen yang dialokasikan untuk kepemimpinan pembelajaran. Sampai sekarangpun
banyak kepala sekolah yang masih menyeimbangkan perannya sebagai manager,
administrator, supervisor, dan instructional
leader (kepemimpinan pembelajaran). Adapun alasan yang dikemukakan antara
lain kurangnya pelatihan tentang kepemimpinan pembelajaran, kurangnya waktu
untuk melaksanakan kepemimpinan pembelajaran, banyaknya kegiatan administratif yang harus dilaksanakan, dan adanya harapan
dari masyarakat bahwa peran kepala sekolah utamanya adalah seorang manager (Flath, 1989; Fullan, 1991).
Effective isntructional leadership is generally
recognized as the most important charateristic of school admonsistartor (Hoy & Hoy (2009), dan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Cosner & Peterson (2003) “...promoting teachers professional development is the most influential
educational leadership behavior.”
Berdasarkan hasil penelitian (May Jo, 2007) tentang kepemimpinan
pembelajaran dinyatakan bahwa kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran
harus melaksanakan tugas dan fungsi sebagai berikut; (1) memanfaatkan sebagian
besar waktunya untuk memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi di ruang kelas,
melakukan pengamatan proses pembelajaran, dan mendorong peningkatan kinerja
guru dan siswa untuk mencapai hasil maksimal, (2) menelusuri hasil-hasil test siswa
dan indikator-indikator
lainnya untuk membantu guru dalam memfokuskan perhatiannya terhadap siswa yang
mengalami kesulitan dan yang memerlukan bantuan guru untuk mengatasinya, (3)
memfokuskan sebagian besar waktunya untuk meningkatkan mutu guru dan pemanfaatannya
secara optimal dalam pembelajaran, (4) memberikan tantangan baru kepada guru
untuk meneliti tentang dirinya sendiri apakah yang bersangkutan masih tergolong
guru tradisional (out of date) atau
guru modern (up to date) dan (5)
memberikan kesempatan kepada para guru untuk berbagai informasi dan bekerja
sama untuk mengembangkan kurikulum dan
pembelajarannya.
Berdasarkan penelitian
(Squires & Kranyik, 1996) ditemukan “A
positive school culture may have a significant influence on the academic and social success of the students within schools”. Artinya, budaya sekolah yang positif berpengaruh signifikan
terhadap keberhasilan akademik dan sosial siswa di dalam sekolah.
When a school exhibits characteristics of positive
culture, there are fewer suspensions, increased attendance rates, and increased
achievement of standardized test scores (Becker & Hedges, 1992).
Working collaboratively with school leadership and
teachers to strenghten the culture of the school , with the intent of improving
teaching practice and students learning, is
a promising school reform strategy (Ross, 2007). Maksudnya,
kerjasama
(komunikasi) antara kepemimpinan
sekolah dan para guru untuk memperkuat budaya sekolah, dengan tujuan
memperbaiki praktek pengajaran dan
pembelajaran para siswa adalah merupakan strategi reformasi sekolah yang
memungkinkan.
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Glathhorn (1993), ditemukan lima hal yang penting dalam
membentuk budaya sekolah yang dapat melatih siswa dalam mencapai keberhasilan
belajar dan juga iklim sekolah yang sehat, yaitu: (1) sekolah sebagai komunitas
kolaboratif dan komunitas belajar; (2) ada keyakinan bersama untuk mencapai
tujuan; (3) peningkatan sekolah dicapai melalui proses pemecahan masalah; (4)
seluruh warga sekolah apakah itu kepala sekolah, guru dan siswa diyakinkan
dapat mencapainya; dan (5) pembelajaran merupakan prioritas utama.
Berdasarkan penelitian
tentang kepemimpinan pembelajaran yang dilakukan Cotton (1995) dinyatakan perilaku kepala sekolah yang menerapkan kepemimpinan
pembelajaran berkontribusi sigifikan terhadap peningkatan efektivitas
pembelajaran di sekolah.
Hasil penelitian-penelitian yang
dilakukan sebelumnya selaras dengan penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti yaitu mengungkap pengaruh kepemimpinan pembelajaran. Jadi, penelitian
yang berjudul pengaruh kepemimpinan pembelajaran terhadap kinerja guru,
komunikasi organisasi, budaya sekolah dan kepuasan siswa diharapkan dapat
memperkuat dan mengembangkan hasil penelitian-penelitian yang telah dipaparkan
di atas.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Search
Popular Posts
-
PENGARUH FAKTOR GEOGRAFIS DALAM KONDISI BAHASA Sukris Sutiyatno STMIK Bina Patria Magelang Jln. R. Saleh. No. 02Magelang telp. 0293-3...
-
Dr. SUKRIS SUTIYATNO, MM., M.Hum
-
PENTINGNYA PENDIDIKAN KEJURUAN BERORIENTASI PASAR TENAGA KERJA Sukris Sutiyatno Sukris65@yahoo.com (Dosen STMIK Bina Patria Magelan...
-
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL Sukris Sutiyatno Di sampaikan dalam Kegiatan: Pengabdian pada Masyarakat CONTEXTUAL TEACHING LEARNING :...
-
PERAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN Sukris Sutiyatno STMIK Bina Patria Magela...
-
DETERMINING MERIT AND WORTH OF EVALUATION (FORMATIVE AND SUMATIVE CONTEXT) Sukris Sutiyatno Sukris65@yahoo.com (Dosen STMIK Bina Pa...
-
Manajemen Kepuasan Siswa Sukris65@yahoo.com STMIK Bina Patria Magelang A. Kualitas sebagai Ujung Tombak Kepuasan Siswa Bagi...
-
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (PPs UNY), Kamis (30/10/2014), kembali mengadakan ujian terbuka disertasi bagi Sukr...
-
REKONSTRUKSI PENDIDIKAN KEJURUAN PENDIDIKAN KEJURUAN BERORIENTASI PASAR Sukris Sutiyatno Sukris65@yahoo.com (Dosen STMIK Bina Patri...
-
PENGUMUMAN Diberitahukan kepada seluruh Civitas Academica STMIK Bina Patria Magelang khususnya Kelas Teknik Informatika Reguler Semeste...