Sunday 28 June 2015
On 19:35 by Dr. SUKRIS SUTIYATNO, MM., M.Hum No comments
PENTINGNYA
PENDIDIKAN KEJURUAN
BERORIENTASI
PASAR TENAGA KERJA
Sukris
Sutiyatno
(Dosen
STMIK Bina Patria Magelang)
ABSTRACT
The role of work
based learning is very important for providing qualified labors needed by
industry. A central argument in favor of work-based learning is that students
acquire various practical skills and that they learn about industries and
careers. After graduating from vocational education, the students are ready to
enter the labor market so that the vocational school should design the
curriculum which is relevant with the demand of labor market.
Key
Words: Work-based learning, practical skills, labor market
A.
LANDASAN
PEMIKIRAN
Perkembangan
yang terjadi di dunia pendidikan tinggi kita saat ini ditandai dengan terus
meningkatnya jumlah lulusan setiap tahunnya. Peningkatan jumlah lulusan
tersebut, bila tidak diimbangi dengan kualitas dan khususnya relevansi
pendidikan di perguruan tinggi akan menambah jumlah lulusan yang tidak terserap
di pasar kerja (labor market) akibat
ketidakmampuan memenuhi persyaratan untuk memasuki dunia kerja, baik sebagai
pekerja maupun wirausahawan/wati. Di Samping itu , para lulusan perguruan
tinggi baik diploma maupun sarjana banyak yang kurang siap menghadapi tuntutan
kompetensi yang dipersyaratkan oleh dunia usaha dan dunia industry, demikian
pula tingkat kemandirian mereka masih rendah terutama untuk menciptakan
lapangan pekerjaan secara mandiri.
Masalah tersebut kalau tidak segera diatasi tentu akan berdampak pada
meningkatnya jumlah pengangguran. Oleh
karena itu konsep pendidikan kejuruan berorientasi dunia kerja nampaknya dapat
dipertimbangkan untuk dikembangkan, minimal dapat mengurangi jumlah lulusan
yang tidak terserap di dunia usaha maupun dunia industry.
Konsep
pendidikan kejuruan yang berorientasi ke dunia kerja didasarkan atas kebutuhan
tenaga kerja di dunia industry di mana perencanaan ketenagakerjaan tidak dapat
dipisahkan dari dunia pendidikan. Program
Kebutuhan pasar kerja dan dunia pendidikan seharusnya dirancang secara
terintegrasi dengan memperhatikan tujuan dan kebutuhan dunia usaha dan dunia
industry (Bambang Budiono, 2001:7).
Tersediannya
Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dan handal di berbagai bidang dan
jenjang, menjadi sangat penting dalam era global saat ini. Karena hanya dengan
SDM yang kompeten dan handal suatu negara akan mampu bertahan dan berperan
dalam era yang penuh persaingan dan sekaligus peluang. Keunggulan komparatif
yang berupa sumber daya alam yang melimpah, tenaga kerja yang murah,
dipandang tidak komptitif lagi.
Sebaliknya keunggulan kompetitif yang antara lain berupa tersediannya SDM yang
kompeten dan handal, akan lebih berpeluang dalam memenangkan pesaingan di era
global saat ini (Direktori Lembaga Sertifikasi Profesi, 2004:1).
Masalah
perekonomian dan ketenagakerjaan tidak terlepas dari problem pendidikan dan
pelatihan. Salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang beerorientasi
dunia kerja adalah melalui politeknik dan akademi (program diploma). Karena
salah satu tujuan penyelenggaraan program diploma adalah menyediakan calon
tenaga lulusan yang siap pakai/dan siap kerja.
Salah
satu cara peningkatan kemampuan SDM ini adalah melalui peningkatan daya tampung
di Perguruan Tinggi terutama di Politeknik dan Akademi (program professional).
Hal ini disebabkan oleh sifat pendidikan professional di tingkat pendidikan
tinggi yang mengutamakan keseimbangan antara praktek dan teori dan bahkan di
ATMI solo lebih memberikan penekanan pada keterampilan dan keahlian di
bidang manufaktur. Namun demikian sangat
disayangkan Politeknik dan Akademi di Indonesia belum mendapatkan respon yang
positif dari masyarakat, untuk itu perlu diupayakan sosialiasi dan pencitraan
di masyarakat agar kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan di
Politeknik dan Akademi semakin meningkat dan mendapat kepercayaan dari
masyarakat.
B.
PEMBARUAN
PENDIDIKAN KEJURUAN
Pada saat ini, pengembangan sumber
daya manusia di Indonesia belum benar-benar mengarah kepada kondisi yang
diharapkan. Hal ini ditandai dengan: (1) struktur tenaga kerja Indonesia masih
didominasi oleh pekerja yang kurang terdidik, sehingga tidak banyak berpengaruh
terhadap meningkatnya pertumbuhan ekonomi; (2) penyiapan tenaga kerja tingkat
menengah seakan-akan hanya menjadi tugas dan dilakukan oleh SMK, sementara
sebagian besar tamatan SMU atau yang sederajat tidak melanjutkan pendidikannya
yang kemudian masuk ke pasar kerja; (3) tingkat pengangguran tamatan sekolah
menengah sebesar 12% untuk tamatan SMK dan 18 % untuk tamatan SMU; (4)
penguasaan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja Indonesia masih rendah
dibandingkan dengan tenaga kerja negara-negara lainnya di kawasan Asia
Tenggara. Semua ini menyebabkan tenaga kerja Indonesia sulit bersaing, bahkan
tidak sedikit peluang pekerjaan yang ada di Indonesia sendiri diisi oleh
pekerja asing. Untuk mengantisipasi permasalahan ini, maka peningkatan mutu
sumber daya manusia harus menjadi prioritas dalam pembangunan.
Ada empat alasan
yang perlu diberikan perhatian serius mengapa ketidaksesuaian system
pendidikan. Pertama, usaha perbaikan pendidikan tidak mengena atau tidak dengan
kebutuhan yang ada di dunia industry. Dengan kata lain, pemahaman kita tentang
sumber daya manusia yang dibutuhkan dunia industry tidak tepat, sehingga
terjadi kekeliruan dalam mengidentifikasi masalah. Kedua, kebijakan pendidikan
yang ditetapkan tidak didukung oleh prinsip yang sesuai dengan perkembangan.
Nilai-nilai yang melatarbelakangi prinsip mungkin tidak sejalan dengan
prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk megatasi masalah. Ketiga, perencanaan dan
pelaksanaan program pendidikan tidak professional dan tidak konsisten. Keempat,
karena kebutuhan dunia industry berubah dengan cepat sesuai dengan perkembangan
zaman dan teknologi, sementara perbaikan system pendidikan selalu terlambat
dalam menyesuaikan diri. Kalau keempat alasan di atas benar, maka dalam
mengatur system pendidikan kejuruan perlu diantisipasi lompatan-lompatan
kemajuan dunia industri dan perkembangan teknologi. Lembaga-lembaga
pendidikan perlu mengenal dengan baik
kualitas SDM yang dibutuhkan dunia industry, baik secara umum maupun secara khusus.
Perbaikan secara umum berarti berusaha memenuhi kebutuhan SDM sesuai dengan
trend global, sedangkan perbaikan secara khusus berarti berusaha menyiapkan SDM
sesuai dengan kebutuhan yang terpaut dengan disiplin ilmu tertentu yang menjadi
bidang studi lembaga terkait dan minat dari peserta didik.
Paradigma
baru yang digunakan oleh ADB untuk pencapaian evaluasi diri mencakup segi: (a)
Relevansi, (b) Academic Atmosphere, (c) Internal management, (d)
Sustanainability, (e) Efficiency and Effectiveness harus mencapai system
“market driven” yang telah mencakup: kualitas, relevansi, permeabilitas dan
otonomi serta akuntabilitas (Bambang Budiono, 2001:15).
Perubahan
yang akan terjadi pada system pemerintahan sekarang adalah bergesernya system
monolistik menjadi pluralistic dalam suatu masyarakat madani. Beberapa tendensi
dari perubahan system pendidikan vokasi dapat dijelaskan pada table berikut:
Saat Ini
|
Masa Depan
|
·
Sistem berorientasi pada pasokan
(supply-driven) berdasarkan kebutuhan masyarakat
|
·
Sistem berorientasi pada
kebutuhan (demand driven) yang ditentukan pasar
|
·
Program studi berdasarkan pada
kurikulum tetap yang disusun karena kebutuhan nasional (KURNAS)
|
·
Program studi disusun berdasarkan
kebutuhan industry (CBL) baik local maupun global dan bertanggung jawab
kepada pemerintah local dengan komitmen nasional dan global
|
·
Sistem manajemen yang terpusat
(PP 60)
|
·
Sistem manajemen yang
terdesentralisasi di mana politeknik berdiri sebagai institusi otonom (PP 61)
|
·
Institusi bertanggung jawab penuh
pada pemerintah pusat
|
·
Institusi bertanggung jawab kepada
masyarakat terinstitusi dalam bentuk trasparansi pada system majelis wali
amanat
|
·
Mahasiswa sulit melakukan
kompetensi yang berbeda dengan system artikulasi
|
·
Banyak system artikulasi dan
mudah memperoleh kompetensi lain dengan system modul
|
·
Institusi diatur dan didanai oleh
pemerintah pusat. Dikti bertindak sebagai provider
|
·
Swasembada di bidang dana dan
managemen dengan dana sebagaian ditanggung oleh pemerintah pusat (block
grant). Dikti berubah menjadi facilitator
|
·
Kedudukan mahasiswa sebagai anak
didik
|
·
Kedudukan mahasiswa sebagai
partner dalam team-work.
|
Indikator kunci untuk kinerja akan
beerubah dari yang bersifat evaluasi internal sebagai “supply-driven” menjadi
“demand-driven”. Indikator kunci keberhasilan untuk kinerja antara lain adalah
sebagai berikut: (1) Laju peningkatan penyerapan alumni di dunia kerja (graduate employment rate), (2) Tingkat
kepuasan alumni (graduate satisfaction),
(3) Tingkat kepuasan industry ( employer
satisfaction), (4) Tingkat kepuasan mahasiswa (student satisfaction)
dan (5) Laju peningkatan nisbah alumni
yang lulus tepat waktu termasuk nilai IPK (graduataion
rate).
Sedangkan indicator kunci untuk mutu
adalah sebagai berikut; (1) Pemberian proses jasa belajar mengajar termasuk
fasilitas dan peralatan yang memenuhi kebutuhan mahasiswa, (2) Penilaian alumni
terhadap program pendidikan mereka, (3) Tingkat kepuasan mahasiswa terhadap
kuliah dan program studinya, (4) Kualitas dosen yang dievaluasi oleh mahasiswa,
(5) Antisipasi kebutuhan masa depan mahasiswa, (6) Alumni mendapatkan pekerjaan
yang sesuai dengan bidangnya dan mampu berkompetisi, (7) Penilaian dari pemberi
kerja terhadap kompetisi alumni termasuk mampu berpikir kritis, mampu menulis,
mampu menyelesaikan masalah dan mampu bekerja dalam suatu team-work dan (8)
Tingkat kepuasan masayarakat teristitusi kepada lembaga pendidikan.
Bila indicator-indikator kunci
kinerja dan kwalitas tidak terpenuhi maka input dan proses harus diperiksa dan
system penjaminan dan kendali mutu, termasuk system kwalitas manajemen mutu
terpadu.
Penyelenggaraan pendidikan kejuruan
yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan kompetensi keahlian yang sedang
berkembang dan dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja akan dengan sendirinya
ditinggalkan oleh masyarakat, karena output yang dihasilkan akan tidak relevan
dengan kebutuhan masyarakat.
Masalah-masalah yang masih sering
terjadi dan merupakan perilaku salah dalam kegiatan belajar mengajar yang
tentunya dapat berpengaruh terhadap output pendidikan kejuruan yaitu:
a.
Pelajaran praktek dasar kejuruan tidak
diajarkan secara mendasar. Kesalahan yang diterima menjadi suatu kewajaran, antara
lain; mutu hasil kerja dibiarkan apa adanya tanpa standar mutu; guru yang
kurang bermutu ditugaskan mengajar di tingkat satu atau semester awal; dan alat
yang sudah tua atau sudah sudah tidak baik dipakai siswa tingkat satu. Ada pola
piker dan sikap yang salah, seakan-akan pada tingkat pertama, tingkat mutu
boleh diabaikan.
b.
Dalam pelajaran praktek, siswa sering
dibiarkan bekerja dengan cara yang salah. Tidak mengikuti langkah kerja yang
benar, posisi tubuh dan gerak tangan tidak diperlukan. Padahal, secara teknis,
kualitas dan produktivitas hasil kerja seseorang sangat ditentukan oleh cara
kerja yang benar.
c.
Membiarkan siswa bekeerja dengan mutu
hasil kerja asal jadi. Banyak kegiatan praktek siswa dikerjakan hanya
formalitas telah mengerjakan saja, tanpa adanya standar mutu yang harus
dicapai. Kebiasaan siswa mengerjakan pekerjaan dengan kualitas asal jadi
membentuk sikap dan kebiasaan tamatan SMK kurang memahami dan kurang peduli
terhadap mutu.
d.
Kegiatan praktek siswa tidak mengikuti
prinsip belajar tuntas (mastery learning). Misalnya, pada minggu tertentu siswa
mengerjakan satuan pekerjaan tertentu tidak selesai. Namun sekalipun pekerjaan
belum selesai, pada minggu berikutnya sudah beralih pada satuan pekerjaan
lainnya sehingga kegiata praktek siswa tidak tuntas.
e.
Siswa sering dibiarkan bekerja tanpa
memperhatikan persyaratan keselamatan kerja. Akibatnya ada siswa yang mengelas
tanpa kacamata pelindung dan masker pelindung untuk mulut yang dapat
membahayakan keselamatan mereka.
f.
Pendidikan kejuruan belum memiliki wawasan ekonomi. Sering
ditemukan peralatan mesin yang ada di sekolah, dipakai dengan jam pemakaian
yang rendah, atau jam pemakaian bengkel yang rendah, tanpa disadari oleh
sekolah bahwa ketidakterpakaian tersebut merupakan pemborosan modal.
Berdasarkan
masalah-masalah tersebut di atas, seyogyannya pendidikan kejuruan harus mampu
mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, sehingga pendidikan kejuruan
benarbenar dapat menjadi pilar Negara dalam menyediakan calon tenaga kerja yang
berkualitas unggul yang dapat diterima oleh pasar tenaga kerja. Komponen utama
yang berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi penelenggaraan pendidikan
kejuruan mencakup: (1) Sumber daya manusia (tenaga pengajar, laboran,
administrasi harus memenuhi kompetensi professional pada bidangnya, dan terus
menerus di upgrade untuk menyesuaikan pada perkembangan yang ada), (2) Sarana
prasarana dan fasilitas (setiap saat harus sesuai dngan kondisi yang ada di
pasar tenaga kerja, untuk itu harus terus menerus dikembangkan sesuai dengan
kemajuan teknologi yang ada), (3) Manajemen dan program kerja yang tepat dan
adaptif pada setiap tuntutan perkembangan yang ada dan (4) Pendanaan yang
mencukupi untuk menjaga sustaninability penyelenggaraan yang bermutu.
Keseluruhan
komponen tersebut saling berinteraksi untuk membentuk keterpaduan yang utuh dan
saling mendukung. Sistem akan sulit berjalan jika salah satu komponen tersebut
tidak ada atau tidak berfungsi.
C.
PERANAN
MASYARAKAT TERINSTITUSI
Pemikiran dan pandangan yang menyatakan
bahwa proses pendidikan semata-mata diserahkan kepada institusi pendidikan,
nampaknya tidak relevan lagi dan harus ditinggalkan. Berdasarkan pengamatan
penulis sejauh ini industry (sebagai salah satu komponen masyarakat
terinstitusi) umumnya hanya berminat pada bagaimana mengambil lulusan,
memberikan kritik jika hasil lulusan kurang kompeten dan kurang sesuai dengan
tuntutan yang dipersyaratkan oleh dunia usaha dan dunia industry, namun tidak
banyak atau kurang memberikan kontribusi pada proses penyelenggaraan
pendidikan. Peran pasif dari masyarakat terinstitusi sudah selayaknya
ditinggalkan, mereka tidak boleh lagi hanya mau mengambil lulusan, tanpa member
sumbangan konkret pada kemajuan dan kualitas system pendidikan. Mereka harus
secara aktif terlibat dan mengambil peran dalam proses pendidikan khususnya
pendidikan yang berorientasi ke dunia kerja.
Bailey, Hughes & Moore
(2004:61) menyatakan “ If
work-based learning is to be effective, it requires the active participation of
employer”.
Masyarakat terinstitusi (Dunia Usaha dan
Dunia Industri, Kadin, Asosiasi Profesi, Konsorsium bidang ilmu dan keahlian,
Depnakertrans, dan Pemda) diharapkan berperan aktif dalam proses pendidikan
yang mencakup: (1) Mengidentifikasi dan menyiapkan daftar kompetensi profesi,
(2) Membantu dalam mengembangkan dan menyusun kurikulum, (3) Mengembangkan dan
menyusun tolak ukur evaluasi keberhasilan pendidikan, (4) Sebagai salah satu
sumber pendanaan. Dengan keterlibatan masyarakat terinstitusi dan setiap
komponen mengambil peran sesuai dengan bidangnya maka diharapkan dapat
menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing
dan tidak ada lagi saling menyalahakan di antara dunia pendidikan dan
masyarakat terinstitusi. Di samping itu program Work-based learning memerlukan perobahan agar responsive
terhadap kebutuhan stakeholder. Raelin
(2008:253) menyatakan “work-based
learning programs need to change to be responsive to their stakeholders”.
Industri dapat mengambil peran yang
lebih besar, karena selain memanfaatkan secara langsung hasil pendidikan,
industry juga memiliki sumber daya dan sumber dana. Dengan demikian, industri
dapat menyumbangkan sumber dayanya dalam proses pendidikan misalnya dengan
penyediaan teknologi yang canggih dan tentu lebih maju dibandingkan dengan
institusi pendidikan sebagai sarana pelatihan. Pada saat yang sama, industi
dapat menjadi arena yang tepat di mana kompetensi profesi dapat diidentifikasi
dan diujikan. Praktek-praktek yang dapat
mempengaruhi pembelajaran berorientasi dunia kerja seperti Boud & Solomon (2003:7-9) menyatakan “The practices which have influenced the development of work-based learning
include the following: (1)work placements and sandwich courses, (2) Independent
studies and negotiated, (3) Access and the accreditation of prior experiental
learning, (4) Generic competencies and capabilities, (5) Labour and learning”.
Komponen penting lainnya dalam
penyelenggaraan pendidikan berorientasi dunia kerja adalah identifikasi yang
tepat dari kompetensi profesi. Seluruh usaha pendidikan menjadi kurang
bermanfaat jika kompetensi dari lulusan yang dihasilkan tidak direspon secara
positif dan terserap oleh pasar tenaga kerja. Asosiasi profesi dalam hal ini
memegang peranan penting dalam identifikasi profesi. Oleh karena itu setiap
profesi seyogyanya membentuk suatu asosiasi untuk menjembatani dengan dunia
pendidikan. Pada era di mana kompetisi global telah merambah ke setiap sudut
kepentingan hidup masyarakat, maka SDM yang dihasilkan dari proses pendidikan
akan masuk dalam kompetisi global. Hanya SDM yang memiliki kualifikasi atau
standar tertentu yang mendapat pengakuan dalam penguasaan kompetensi profesi
yang akan dapat bertahan. Jadi, pengakuan dan pengesyahan kompetensi profesi
menjadi sangat penting, di sinilah asosiasi profesi dapat mengambil peran
bahkan tanggung jawab (Hanoto & SP. Mursid, 2001:8).
Dengan teridentifikasinya kompetensi
profesi, maka proses pengembangan dan penyususnan kurikulum dapat dikerjakan
secra sistematis. Pengembangan kurikulum dikerjakan secara bersama antara
institusi pendidikan dengan asosiasi dan komponen relevan lainnya yang
tergabung dalam konsorsium bidang ilmu dan keahlian. Kelompok inilah yang
iharapkan mampu menyusun kurikulum yang tepat dengan kebutuhan dari masyarakat.
Institusi pendidikan selanjutnya dapat
memanfaatkan hasil kerja konsorsium yang berupa kurikulum untuk menjadi dasar
perencanaan dan penyelenggaraan program pendidikan diploma. Dengan mengacu pada
produkl dari konsorsium akan mendapat jaminan mengenai kesesuaian program dan
hasilnya dapat sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Permasalahan besar lain dalam
penyelenggaraan pendidikan khususnya program professional atau pendidikan
berorientasi dunia kerja adalah masalah pembiayaan. Biaya penyelenggaraan program pendidikan professional relative
lebih mahal dibandingkan dengan pendidikan liberal. Beban ini tentu sangat
berat apabila harus dibebankan pada institusi pendidikan sendiri. Oleh karena
itu masyarakat terinstitusi seyogyannya turut berperan dalam pendanaan dan
tentu saja hal ini memerlukan design program yang hasilnya dapat dimanfaatkan
secara bersama jadi tidak ada yang merasa dirugikan, karena bagaimanapun
peningkatan sumberdaya manusia berhubungan erat dengan peningkatan daya saing
bangsa dan menjadi tanggung jawab bersama apalagi di era global ini.
Dalam era otonomi daerah, pemda sangat
diharapkan keterlibatannya dalam penyelenggaraan pendidikan program pendidikan
beroreintasi ke dunia kerja (professional). Harus disadari bahwa SDM yang
berkualitas adalah asset terbesar dari setiap daerah dan institusi pendidikan
adalah wadah untuk mencetak SDM yang berkualitas. Jadi, investasi di bidang
pendidikan khususnya profesional harus menjadi perhatian dari pemerintah daerah.
Karena selama ini pemerintah daerah lebih banyak bertanggng jawab terhadap
pendidikan menengah dan dasar.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa
keberhasilan pendidikan kejuruan/vokasi tidak dapat dipisahkan dengan peran
dari berbagai komponen-komponen di antarannya dunia usaha dan dunia industry,
perguruan tinggi, kadin, asisiasi profesi, depnakertrans, dan pemda.
Peran dunia usaha dan dunia industry
dalam mendukung keberhasilan pengelolaan pendidikan vokasi adalah (1)
Memberikan masukan tentang deskripsi pekerjaan/jabatan yang berlaku di dunia
usaha dan dunia industry; (2) Memberikan masukan tentang standar
kompetensi/keahlian/profei, baik untuk nasional maupun internasional, (3)
Berpartisipassi dalam proses pembelajaran, (4) Terlibat aktif dalam melakukan
evaluasi dan pengujian, (5) mmberikan kesempatan pendidikan dan pelatihan di
dunia usaha dan dunia industry, (6) Menguji dan memberikan sertifikasi bagi
tamatan sesuai dengan tingkat kompetensi/keahlian dengan bekerjasama dengan
lembaga-lembaga terkait, (7) dimungkinkan berpartisipasi dalam proses
pendidikan dan pelatihan di dunia usaha da dunia industry bagi mahasiswa, dan
(8) Membantu menyalurkan tamatan.
Peran penyelenggaran pendidikan kejuruan
adalah melakukan proses pembelajaran dan pelatihan yang sesuai dengan
kompetensi dan keahlian yang sepadan dan sesuai dengan tuntutan dunia usaha dan
dunia industry dan mencetak lulusan dengan kualifikasi (kompetensi/keahlian)
sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan dari dunia uasaha dan dunia industry.
Peran kadin sebagai wadah organisasi
dunia usaha dan dunia industry lebih bersifat memberikan koordinatif dan
pmbuatan kebijakan yang bersifat makro bagi para anggotanya dalam upaya
memberikan kontribusi kepada pendidikan kejuruan dalam menciptakan lulusan yang
memiliki kompetensi/keahlian sesuai dengan standar kebutuhan dunia usaha dan
dunia industry.
Peran asosiasi profesi, asosiasi ini
lebih berperan pada pemberian masukan tentang standar kompetensi dalam berbagai
keahlian dan sertifikasi sesuai dengan tingkatan dan jenis kompetensi
bersama-sama dengan masyarakat terinstitusi lain, baik nasional maupun
internasional.
Peran depnakertrans sebagai lembaga
pemerintah yang menangani permasalahan tenaga kerja dalam segala jenjang dan
kualifikasi atau secara kuantitas dan kualitas, khususnya berhubungan dengan
penggna tamatan. Di samping itu juga menangani tentang penempatan dan
penyaluran tenaga kerja.
Peran Pemda dalam era otonomi daerah,
kewenangan pemda sangat penting untuk meningkatkan lembaga pendidikan dalam
menghasilkan lulusan yang berkualitas. Dalam hal ini pula masing-masing daerah
akan mampu menampilkan potensi daerahnya sehingga akan meningkatkan pendapatan
daerah atau dampak yang lain. Untuk itu peran pokoknya di antarannya adalah
memberikan peluang dan fasilitas kepada masyarakat untuk menghasilkan tenaga
kerja yang sesuai dengan kebutuhan local, regional, nasional bahkan
internasional.
D.
PENDIDIKAN
KEJURUAN BERORIENTASI PADA PASAR
Salah
satu tolak ukur dari keberhasilan suatu proses pendidikan adalah apabila ada
relevansi hasil lulusan dengan pasar tenaga kerja dan bagi institusi pendidikan
yang mempunyai unit produksi seharusnya mengarahkan produknya dengan kebutuhan
pasar dalam hal ini dunia industry dan dunia usaha bahkan masyarakat luas.
Bailey, Hughens & Moore (2004:35) menyatakan bahwa “ A central argument in favor of work-based learning is that students
acquire various practical skills and that they learn about industries and careers”.
Jadi, alasan utama dari pembelajaran berorientasi dunia kerja adalah peserta
didik dapat memperoleh berbagai keterampilan dan bahkan mereka mmempelajari
mengenai industry dan karier. Karena bagaimanapun institusi pendidikan
seharusnya tidak hanya berpikir bagaimana hasil lulusannya berkualitas namun
demikian harus juga memperhatikan keinginan pasar yang selalu berobah. Jadi,
berdasarkan konsep pemasaran alasan keberadaan social dan ekonomi bagi suatu organisasi
termasuk di dalamnya institusi pendidikan adalah memuaskan kebutuhan konsumen
dan keinginan tersbut sesuai dengan sasaran organisasi (baca: institusi
pendidikan) (Lamb, Hair dan McDaniel, 2001:8).
Pendidikan
kejuruan memiliki manfaat yang kalau
tercapai dengan baik akan berkontibusi besar terhadap pencapaian tujuan
pembangunan nasional. Manfaat pendidikan kejuruan—bagi siswa pendidikan
kejuruan bermanfaat untuk peningkatan kualitas diri, peningkatan penghasilan,
penyiapan bekal pendidikan lebih lanjut dan penyiapan diri agar berguna bagi masyarakat
dan bangsa. Bagi dunia kerja, pendidikan kejuruan mempunyai manfaat dapat
memperoleh tenaga kerja berkualitas tinggi, dapat meringankan biaya usaha dan
dapat membantu memajukan dan mengembangkan usaha. Dan bagi masyarakat dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dapat meningkatkan produktivitas
nasional, jadi dapat meningkatkan penghasilan Negara dan dapat mengurangi
pengangguran (Wardiman Djojonegoro, 1998:36).
Pendidikan
kejuruan seharusnya menerapkan strategi one
step ahead dari perkembangan teknologi dan pasar dunia di Indonesia. Pendidikan
kejuruan harus selalu mengantisipasi kebutuhan pasar industry dan menyesuaikan
pengajaran dan pelatihan untuk menjawab kebutuhan tersebut. Fleksibilitas
tinggi diterapkan baik di sisi praktek amupun teori. Kebutuhan pasar atau
peluang berusaha ditangkap oleh unit produksi dan diterjemahklan di dalam
pengajaran dan pelatihan yang dapat menjamin kontinuitas pendidikan kejuruan.
Pembuktian bahwa system pendidikan yang diterapkan berhasil atau tidak diserahkan
kembali kepada pasar. Pendidikan kejuruan terus berusaha untuk menghasilkan
lulusan yang dapat menjawab kebutuhan pasar, dengan demikian lulusan ATMI akan selalu terserap di pasar
tenaga kerja (B.B. Triatmoko, 2001:3).
Demikian pula pendidikan kejuruan
harus selalu meningkatkan kualitas pendidikan dan sekaligus mencari upaya
pendanaan institusi misalnya menerapkan system pendidikan yang berbasis
produksi atau Production Based Education
(PBE). Pengertian yang mendasar dari system Production
Based Education (PBE) adalah membawa iklim produksi/industry ke dalam
kampus dan mengintegrasikan ke dalam system pendidikan. Dalam realisasinya
aktivitas pendidikan berbasis produksi juga diarahkan pada kebutuhan pasar
sehingga PBE juga memfokuskan hasil produksinya pada kebutuhan dan keinginan
pasar (Armeyn Yahya, 2001:9). Di samping itu institusi pendidikan harus selalu
meningkatkan mutu secara terus menerus (quality
continuous inmpovment), Liston (1999:11) menyatakan “quality is related to a body of knowledge about products, services and
customer and client satisfaction”. Mutu berhubungan dengan pengetahuan
tentang produk, pelayanan dan pelanggan serta kepuasan pelanggan. Jadi,
isntitusi yang dapat menghasilkan output yang berkualitas adalah apabila
institusi pendidikan tersebut mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan
(meeting the needs of customer)
(Gaspersz, 2002:4).
Pendidikan kejuruan yang baik
adalah pendidikan kejuruan yang dapat beradaptasi dengan lingkungan dunia usaha
dan dunia industry, demikian pula mampu memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja,
sehingga pendidikan kejuruan seharusnya mempunyai karakteristik: (1) Pendidikan
kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki lapangan kerja,
(2) Pendidikan kejuruan didasarkan atas demand-driven (kebutuhan tenaga kerja,
(3) Fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan pada penguasaan pengetahuan,
keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja, (4)
Penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan siswa harus pada hands on atau performa
tenaga kerja, (5)Hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci sukses
pendidikan kejuruan, (6) Pendidikan kejuruan yang baik adalah responsive dan
antisipatif terhadap kemajuan teknologi, (7) Pendidikan kejuruan lebih
ditekankan pada learning by doing dan hands on experience, (8) Pendidikan
kejuruan mmerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktek dan (9) Pendidikan
kejuruan memerlukan biaya investasi dan operasional yang lebih besar dari pada
pendidikan umum (Wardiman Djojonegoro, 1998:37).
Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa pendidikan
kejuruan berorintasi dunia kerja akan dapat berkembang dan berhasil manakala
hasil lulusannya atau hasil produksinya dapat diterima dan diserap oleh
pasar. Karena apabila hal tersebut dapat
terjadi di sinilah konsep relevansi pendidikan berorientasi dunia kerja
berhasil dicapai. Karena keberhasilan institusi pendidikan seharusnya tidak
diukur dari berapa banyak institusi pendidikan dapat menghasilkan lulusan (SDM)
tetapi bagaimana menghasilkan lulusan yang dapat terserap di dunia kerja,
sehingga lulusannya tidak menambah pengangguran dan hal tersebut dapat menambah
beban pemerintah. Oleh karena itu semua komponen pendidikan; tenaga pengajar,
kurikulum, sarana prasarana, gedung harus diorientasikan kepada kebutuhan dan
kinginan pasar.
Berdasarkan paparan di atas, satu hal yang menjadi
pertanyaan adalah “Bagaimana kita merekonstruksi pendidikan kejuruan ?. Tentu
hal ini bukan pekerjaan mudah karena menyangkut seluruh komponen yang ada di
pendidikan kejuruan dari input, proses, dan output. Namun hal yang penting
adalah bagaimana rekonstruksi itu dapat mewujudkan pendidikan kejuruan
berorientasi pada pasar tenaga kerja sehingga lulusan dari pendidikan kejuruan
dapat diterima oleh dunia usaha dan dunia industry baik local, regional bahkan
internasional. Sehingga citra dari pendidikan kejuruan semakin meningkat dan
dapat dipercaya oleh masyarakat dan
tidak menambah jumlah pengangguran tetapi sebaliknya menjadi solusi
mengatasi pengangguran di Indonesia. Hal-hal yang perlu direkonstruksi untuk
meingkatkan dan mengembangkan peran pendidikan kejuruan agar lebih berkualitas
adalah system pendidikan, kurikulum dan pembelajaran, sarana dan parasarana,
ketenagaan, lingkungan dan budaya sekolah, pembiayaan, kesiswaan, organisasi
dan kelembagaan dan kerjasama industry.
E.
PENUTUP
Pengembangan
Sumber Daya Manusia baik secara regional, nasional bahkan global sangat
diperlukan untuk meningkatkan daya saing (competitive
advantage) sehingga di era global ini negara kita tidak hanya mengandalkan
keunggulan comparative (comparative
advantage). Untuk dapat menghasilkan lulusan yang berdaya saing nasional
bahkan global diperlukan institusi pendidikan yang mampu mencetak lulusan yang
memenuhi kebutuhan pasar global.
pendidikan
kejuruan berorintasi dunia kerja akan dapat berkembang dan berhasil manakala
hasil lulusannya atau hasil produksinya dapat diterima dan diserap oleh
pasar. Karena apabila hal tersebut dapat
terjadi di sinilah konsep relevansi pendidkan berorientasi dunia kerja berhasil
dicapai. Karena keberhasilan institusi pendidikan seharusnya tidak diukur dari
berapa banyak institusi pendidikan dapat menghasilkan lulusan (SDM) tetapi
bagaimana menghasilkan lulusan yang dapat terserap di dunia kerja, sehingga
lulusannya tidak menambah pengangguran dan hal tersebut dapat menambah beban
pemerintah. Oleh karena itu semua komponen pendidikan; kurikulum dan
pembelajaran, ketenagaan (guru dan tenaga kependidikan), sarana dan prasarana,
keuangan, organisasi dan kelembagaan, lingkungan dan budaya sekolah dan
kerjasama dan kemitraan harus diorientasikan untuk menciptakan lulusan yang
dibutuhakan oleh dunia usaha dan dunia industry serta pasar tenaga kerja.
Untuk
itu diperlukan model pengembangan pendidikan kejuruan berorientasi dunia kerja
yang dapat memenuhi standar local regional bahkan global karena saat ini kita
sedang, telah dan akan terus menghadapi pasar global. Demikian pula masyarakat
terinstitusi (dunia usaha dan dunia industry, asosiasi profesi, kadin,
konsorsium ilmu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah) harus merasa
bertanggung jawab dan menyatukan visi dan misi untuk bersinergi dan
bersama-sama memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia untuk meningkatkan daya saing
bangsa.
DAFTAR
PUSTAKA
Armeyn Yahya .(Mei 2001). Politeknik
Manufaktur Timah: Potensi dan Pengembangannya. Makalah disajikan dalam
Seminar Pengembangan Pendidikan DIPLOMA, di Yogyakarta
B.B.
Triatmoko.(Mei 2001). Pendidikan Kejuruan
Berorientasi Pasar di ATMI Solo. Makalah disajikan dalam seminar
Pengembangan Pendidikan DIPLOMA
Bailey,
J.A., Hughens, K.L., & Moore, D.T. (2004). Working Knowledge; Work-Based Learning
and Education. New York: Roun HedgeFlmer
Basuki
Wibowo. (2008). Pendidikan dan Teknologi Kejuruan. Surabaya: Kertajaya Duta
Media
Bambang
Budiono .(Mei 2001). Penyelenggaraan
Pendidikan Diploma di Era Global. Makalah disajikan dalam Seminar
Pengembangan Pendidikan DIPLOMA
Boud, D. & Solomon, N. (2003). Work-Based Learning. Buckingham: Open
University Press
Direktori
Lembaga Sertifikasi Profesi & Tempat
Uji Kompetensi. (2004). Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas. Jakarta
Direktorat
Pembinaan SMK.2005. Pengembangan
Manajemen Kepemimpinan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Depdiknas
Dirjen
Dikti. Pedoman Umum Penyelenggaraan
Program Co-Op. (2004). Jakarta: Dirjen Dikti
Gaspersz,
V. (2001). Penerapan Konsep Kualitas
Dalam manajemen. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum
Hanoto
& Mursid. (2001). Model Pengembangan Pendidikan Program
DIPLOMA. Makalah disajikan dalam Seminar Pengembangan Pendidikan
DIPLOMA
Lamb, Hair & McDaniel. (2001). Pemasaran (terjemahan). Jakarta: Salemba
Empat
Liston, C. (1999). Managing Quality and Standardise. Buckingham: Open University Press
Raelin, J.A. (2008). Work-Based Learning. San Fransisco: A Wiley Imprint
Wardiman
Djojonegoro. (1998). Pengembangan
Sumberdaya Manusia. Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Search
Popular Posts
-
PENGARUH FAKTOR GEOGRAFIS DALAM KONDISI BAHASA Sukris Sutiyatno STMIK Bina Patria Magelang Jln. R. Saleh. No. 02Magelang telp. 0293-3...
-
Dr. SUKRIS SUTIYATNO, MM., M.Hum
-
PENTINGNYA PENDIDIKAN KEJURUAN BERORIENTASI PASAR TENAGA KERJA Sukris Sutiyatno Sukris65@yahoo.com (Dosen STMIK Bina Patria Magelan...
-
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL Sukris Sutiyatno Di sampaikan dalam Kegiatan: Pengabdian pada Masyarakat CONTEXTUAL TEACHING LEARNING :...
-
PERAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN Sukris Sutiyatno STMIK Bina Patria Magela...
-
DETERMINING MERIT AND WORTH OF EVALUATION (FORMATIVE AND SUMATIVE CONTEXT) Sukris Sutiyatno Sukris65@yahoo.com (Dosen STMIK Bina Pa...
-
REKONSTRUKSI PENDIDIKAN KEJURUAN PENDIDIKAN KEJURUAN BERORIENTASI PASAR Sukris Sutiyatno Sukris65@yahoo.com (Dosen STMIK Bina Patri...
-
Manajemen Kepuasan Siswa Sukris65@yahoo.com STMIK Bina Patria Magelang A. Kualitas sebagai Ujung Tombak Kepuasan Siswa Bagi...
-
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (PPs UNY), Kamis (30/10/2014), kembali mengadakan ujian terbuka disertasi bagi Sukr...
-
PENGUMUMAN Diberitahukan kepada seluruh Civitas Academica STMIK Bina Patria Magelang khususnya Kelas Teknik Informatika Reguler Semeste...
0 comments:
Post a Comment